Setiap harinya, masyarakat dan industri di Bandung membuang limbah domestik dan industri secara langsung ke Sungai Citarum yang diperkirakan melebihi setengah dari total sampah kota.
Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, pertanian, dan pertumbuhan industri menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan air dan tanah. Kurangnya kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian dan kebersihan alam menjadi bumerang atas kesehatan dan kehidupan mereka sendiri.
Walikota Bandung, Ridwan Kamil juga menyatakan bahwa pemukiman padat penduduk di tepi sungai di Bandung berperan terhadap pencemaran Sungai Citarum. Pemukiman ini membelakangi sungai sehingga limbah rumah tangga – termasuk limbah biologis seperti feces dan urine - banyak dibuang ke sungai, yang dianggap sebagai halaman belakang milik pribadi oleh penduduk.
Secara biologis, melimpahnya limbah rumah tangga yang dibuang secara langsung akan berkontribusi dalam mewabahnya menyakit menular yang diakibatkan oleh air yang terkontaminasi di seluruh penjuru dunia seperti diare dan penyakit gastrointestinal lainnya yang disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, dan protozoa.
Di negara berkembang, seperti Indonesia, penyakit-penyakit ini diderita oleh jutaan orang setiap tahunnya. Coliform merupakan salah satu parameter utama kualitas air yang dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat membelakangi sungai.
Berdasarkan laporan kualitas air Sungai Citarum 2012, rata-rata hasil analisa kualitatif fecal coliform di tujuh DAS Citarum (Wangisagara, Majalaya, Sapan, Cijeruk, Dayeuh Kolot, Burujul, Nanjung) dari 2001 hingga 2011 adalah lebih dari 1000 kali standar maksimum fecal coliform yang diperbolehkan (1000 unit/100ml).
Secara ilmiah, coliform total memiliki korelasi terhadap munculnya mikroorganisme penyebab penyakit di permukaan air yang merupakan ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Total coliform di 7 DAS Citarum juga menunjukkan tren peningkatan pencemaran coliform yang mengkhawatirkan, melebihi coliform total yang diperbolehkan (5000 unit/100ml).