Upaya untuk mengembalikan Sungai Citarum sesuai fungsi aslinya memang harus terus dilakukan, dibalik pencemaran yang terjadi pada Sungai Citarum, terdapat sejumlah ancaman yang menyangkut kesehatan manusia, baik generasi sekarang maupun masa depan.
Keseriusan aparat Pemerintah untuk melakukan tindakan tegas, terutama kepada pabrik-pabrik yang membuang langsung limbah industrinya ke Sungai Citarum, memang sudah mulai terlihat sejak awal 2017 lalu. Terbukti dengan dicabutnya izin operasional serta penutupan saluran pembuangan pabrik-pabrik nakal yang berada di daerah aliran Sungai Citarum.
Gerakan itu saja tentu tidak cukup. Kampanye untuk menyelamatkan Sungai Citarum harus terus disiarkan ke seluruh lapisan masyarakat. Diperlukan upaya yang efektif dan efisien, baik dari pemerintah maupun masyarakat sebagai tokoh utama dalam memperbaiki kualitas air Sungai Citarum untuk kehidupan.
Adanya kolaborasi antara TNI, bidang pendidikan, masyarakat, dan seniman juga turut mulai mengharumkan Citarum kembali. Universitas di Bandung melaksanakan program PKL untuk mahasiswa yang mulai digerakkan di desa-desa sekitar Citarum. Masyarakat bahu membahu dengan TNI dan mahasiswa untuk Citarum, dan banyak seniman yang mulai berkarya untuk menyuarakan kondisi Citarum.
INDOHUN (Indonesia One Health University Network) yakin bahwa masalah kompleks seperti pencemaran Sungai Citarum tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak saja.
Sebagai inisiatif, pada bulan Juli hingga puncaknya di pada 8-9 September 2018, INDOHUN akan melaksanakan rangkaian acara Nusa Bersama Citarum.
Acara Nusa Bersama akan dibuka dengan kompetisi ide untuk mahasiswa, kompetisi fotografi untuk umum, Summit Sustainibility, dan akan ditutup dengan Fun Run di Bandung.
Acara ini diharapkan dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat, untuk lebih tahu dan peduli tentang permasalahan Citarum, serta dampak pencemarannya terhadap kesehatan. Informasi lebih lanjut terkait acara ini dapat dilihat di instagram @nusabersama dan website www.indohun.org/nusabersama.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, Bill Gates melalui Bill & Melinda Gates Foundation bersedia mendanai inovator dari seluruh dunia untuk mencari inovasi toilet untuk konservasi air. Program ini dipicu oleh fakta mengejutkan bahwa penggunaan terbanyak air di masyarakat modern adalah untuk penyiraman toilet.
"Mungkin perlu ada aksi seperti yang dilakukan Bill Gates untuk menyelamatkan Sungai Citarum," ujar Koordinator INDOHUN, Prof Drh Wiku Adisasmito MSc PhD yang juga Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Sungai Citarum yang mengalir dari hulu Cisanti hingga Karawang. Sungai Citarum merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Provinsi Jawa Barat yang berperan sebagai sumber air dan sumber energi bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Tiga waduk kaskade raksasa Sungai Citarum (Saguling-Cirata-Jatiluhur) menghasilkan sekitar 1.900 MW listrik sebagai sumber daya listrik nasional dan mengairi lebih dari 240.000 hektar sawah melalui Saluran Tarum Barat, Tarum Timur dan Tarum Utara (Pusat Litbang Sumber Daya Air, 2012).
Upaya pengendalian pencemaran air telah diatur melalui undang-undang sejak tahun 1980-an oleh pemerintah Indonesia, namun upaya ini kurang tegas dalam mengatasi faktor–faktor sosial-budaya pemicunya, termasuk tren kependudukan dan kebiasaan penduduk yang tinggal di Daerah Aliran Sungai (DAS).
Data monitoring kualitas air dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Institut Teknologi Bandung menyebutkan bahwa pada tahun 2009-2013, persentase jumlah sungai dengan tingkat kontaminasi tinggi di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Secara umum, penyebab utama pencemaran air adalah aktivitas manusia, meliputi aktivitas domestik, pertanian, dan peternakan. Hal ini direpresentasikan oleh pencemaran Sungai Citarum yang didominasi oleh limbah domestik sebesar 70%, dibandingkan dengan limbah industri yang berkontribusi pada 30% dari total pencemaran Sungai Citarum.
Setiap harinya, masyarakat dan industri di Bandung membuang limbah domestik dan industri secara langsung ke Sungai Citarum yang diperkirakan melebihi setengah dari total sampah kota.
Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, pertanian, dan pertumbuhan industri menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan air dan tanah. Kurangnya kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian dan kebersihan alam menjadi bumerang atas kesehatan dan kehidupan mereka sendiri.
Walikota Bandung, Ridwan Kamil juga menyatakan bahwa pemukiman padat penduduk di tepi sungai di Bandung berperan terhadap pencemaran Sungai Citarum. Pemukiman ini membelakangi sungai sehingga limbah rumah tangga – termasuk limbah biologis seperti feces dan urine - banyak dibuang ke sungai, yang dianggap sebagai halaman belakang milik pribadi oleh penduduk.
Secara biologis, melimpahnya limbah rumah tangga yang dibuang secara langsung akan berkontribusi dalam mewabahnya menyakit menular yang diakibatkan oleh air yang terkontaminasi di seluruh penjuru dunia seperti diare dan penyakit gastrointestinal lainnya yang disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, dan protozoa.
Di negara berkembang, seperti Indonesia, penyakit-penyakit ini diderita oleh jutaan orang setiap tahunnya. Coliform merupakan salah satu parameter utama kualitas air yang dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat membelakangi sungai.
Berdasarkan laporan kualitas air Sungai Citarum 2012, rata-rata hasil analisa kualitatif fecal coliform di tujuh DAS Citarum (Wangisagara, Majalaya, Sapan, Cijeruk, Dayeuh Kolot, Burujul, Nanjung) dari 2001 hingga 2011 adalah lebih dari 1000 kali standar maksimum fecal coliform yang diperbolehkan (1000 unit/100ml).
Secara ilmiah, coliform total memiliki korelasi terhadap munculnya mikroorganisme penyebab penyakit di permukaan air yang merupakan ancaman terhadap kesehatan masyarakat. Total coliform di 7 DAS Citarum juga menunjukkan tren peningkatan pencemaran coliform yang mengkhawatirkan, melebihi coliform total yang diperbolehkan (5000 unit/100ml).