Di Kabupaten Gunungkidul misalnya, hampir setiap tahun wilayah ini mengalami masalah yang sama, yakni masalah kekeringan dan minimnya ketersediaan air bersih.
Apalagi di pertengahan tahun seperti hari-hari ini, kemarau panjang makin membuat ketersediaan air bersih di Gunungkidul hampir nihil.
Karakter tanah pun menjadi salah satu penyebab utamanya. Hampir seluruh wilayah Gunungkidul merupakan perbukitan karst.
Kawasan karst merupakan wilayah dengan karakteristik bebatuan kapur dengan porositas yang tinggi, artinya ketika kawasan tersebut terkena air hujan maka air hujan tidak dapat tertampung di permukaan tanah.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan musim kemarau pada 2018 sudah dimulai di bulan April dan kemungkinan akan berakhir di Bulan September mendatang.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, ketika kemarau tiba biasanya masyarakat Gunungkidul hanya mengandalkan belik (mata air sungai) yang jauhnya sekitar dua kilometer dari pemukiman.
Air yang diambil dari mata air sungai pun hanya digunakan seperlunya untuk kebutuhan cuci rumah tangga, dan untuk minum ternak. Kondisi sulit air tentu mengganggu aktifitas masyarakat dan produktifitas peternakan mereka.
“Saat ini masyarakat di Desa Pacarejo, Semanu mengandalkan sumur galian yang sudah mulai mengering. Sebagiannya sudah membeli air bahkan sejak awal Bulan Juli kemarin. Sebagian lagi bertahan dengan mengambil air dari jeriken di dusun sebelah,” ujar Suhadi, lurah Desa Pancarejo ketika ditemui tim ACT DIY.