Oleh: Syamsuddin Radjab
Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Unpad dan Staf Pengajar HTN UIN Alauddin Makassar
TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (23/7) memutuskan larangan pengurus (fungsionaris) partai politik mencalonkan diri sebagai calon DPD pada pemilu 2019 dan pemilu seterusnya. Putusan itu dituangkan dalam Putusan MK nomor 30/PUU-XVI/2018 dengan suara bulat sembilan hakim konstitusi.
Putusan tersebut, sejatinya hanya mengembalikan maksud dan tujuan esensi pembentukan awal kelembagaan DPD sebagai lembaga negara yang mewakili aspirasi daerah (provinsi) di pentas politik nasional melalui jalur perseorangan dan dipilih melalui pemilu untuk memperjuangkan kepentingan daerahnya.
Sementara partai politik sebagai kelembagaan masyarakat (politik) dimaksudkan mewakili kepentingan partainya dan diajukan pencalonannya melalui partai politik dengan syarat dan ketentuan tertentu menjadi calon anggota DPR dan dipilih melalui pemilu yang sama dengan DPD.
Perberbeda itu melahirkan kepentingan politik masing-masing yang akan diperjuangkan di dalam kelembagaan politik nasional sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam UUDN RI 1945, UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU No. 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UUMD3).
Ketentuan Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22A dan Pasal 22B UUDN RI 1945 berbeda dengan ketentuan Pasal 22C dan Pasal 22D UUDN RI 1945 yang mengatur kelembagaan DPR dan DPD baik dari sisi historis, original intent maupun sosiologis-politis.
Kelembagaan DPD dapat dikatakan sebagai metamorfosis dari kelembagaan sebelumnya yang tergabung dalam utusan daerah/golongan sebelum amandemen UUDN RI 1945 sebagai bentuk akomodasi negara terhadap kepentingan politik daerah, golongan maupun profesi.
Membaca original intent pembentuk UUD memang dimaksudkan untuk kepentingan daerah-daerah yang dulu bernama Dewan Utusan Daerah. Dan dalam perkembangannya, akomodasi politik kepentingan daerah tetap diakui dengan nama baru Dewan Perwakilan Daerah tetapi tidak lagi sebagai utusan, melainkan dipilih melalui pemilu.
Salah Kamar
Era reformasi berdampak pada perubahan fundamental sistem ketatanegaraan kita dengan dianutnya sistem parlemen menjadi sistem dua kamar (bicameral system) dengan kehadiran DPD sebagai kamar baru selain kamar DPR yang telah ada sebelumnya.
Keberadaan MPR dipersepsikan sebagai kamar besar yang didalamnya terdiri dari dua kamar: DPR dan DPD. Ketentuan Pasal 2 UU MD3 menyatakan bahwa keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
Pimpinannya pun dipilih dari anggota DPR dan anggota DPD dengan wewenang dan tugas tersendiri sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 5 UU MD3 yang diantaranya dapat mengubah UUD, melantik Presiden dan wakil Presiden terpilih dan lain-lain.
Kamar DPR memiliki wewenang dan tugas lain sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 71 dan Pasal 72 UU MD3. Sementara DPD sendiri terkait fungsi, wewenang dan tugasnya diatur dalam ketentuan Pasal 248 dan Pasal 249 UU MD3. Yang terpenting lainnya yakni sumber rekrutmen keanggotaannya: DPR beranggotakan partai politik dan DPD beranggotakan perseorangan atau bukan berasal dari partai politik.
Jika keanggotaan DPD diisi dari kalangan partai politik baik pengurus maupun anggota dalam pandangan saya mereka telah salah kamar dan tidak pada tempatnya sebagaimana maksud tujuan pembentukan kelembagaan DPD.