TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Trotoar merupakan fasilitas pendukung yang penting bagi para pejalan kaki, khususnya bagi penyandang disabilitas. Fungsi dari trotoar tidak lain ialah membantu pejalan kaki dalam melakukan aktivitasnya. Terlebih orang yang memang memiliki aktivitas yang berulang dan menggunakan trotoar sebagai sarana utama untuk sampai ke tujuan.
Dalam Pasal 131 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) disebutkan bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyebrangan, dan fasilitas lain. Dalam hal ini dapat diartikan kalau penggunaan trotoar hanya untuk pejalan kaki, dan bukan kendaraan beroda.
Namun nyatanya masih ada orang yang menyalahgunakan fungsi sesungguhnya dari trotoar. Hak pejalan kaki tidak tercerminkan dari undang-undang.
Trotoar dirampas seenaknya oleh individu lain untuk kepentingan personalnya. Saya ambil contoh, seperti yang terjadi di jalan terusan Ibrahim Adjie dan Kiaracondong, Kota Bandung, setiap hari tidak sedikit orang yang menggunakan trotoar melenceng dari fungsi aslinya.
Pada pagi dan malam hari di sepanjang trotoar selalu ada pedagang kaki lima yang berjualan. Akibatnya selain jalan yang terhalang, tampilan trotoar menjadi terlihat kumuh dan seperti tidak terurus.
Dan bukan hanya itu saja, guiding block atau jalur bertekstur warna kuning yang berfungsi sebagai penuntun penyandang disabilitas khususnya tunanetra diabaikan seolah hanya menjadi hiasan semata. Pada jam makan siang trotoar menjadi salah satu lahan parkir ideal bagi mereka yang mementingkan urusan perut daripada kenyamanan bersama, terutama untuk pejalan kaki.
Pada sore hari tidak sedikit para pengendara roda dua yang nekat melintas di trotoar, biasanya karena ketidaksabaran di jam pulang kerja. Jelas ini adalah pelanggaran yang dapat membahayakan nyawa pejalan kaki. Padahal pada pasal 106 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 menyebut setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda.
Jika tidak, maka mereka yang mengemudikan kendaraan bermotor tanpa mengutamakan keselamatan pejalan kaki akan dipidana dengan kurungan paling lama 2 bulan atau denda yang tidak sedikit, yaitu Rp500.000,00 (lima ratus ribu ripuah).
Pelanggaran-pelanggaran tersebut masih kerap terjadi sampai saat ini.
Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga ego untuk kepentingan bersama menjadi salah satu alasan mengapa hingga detik ini kasus perampasan hak pejalan kaki ini tidak kunjung reda.
Kekurangan lahan untuk berjualan atau parkir juga menjadi salah satu masalah yang tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perlu ada sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat terhadap fungsi asli dari trotoar agar tercipta suasana nyaman dan aman bagi para pejalan kaki.