News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pilpres 2019

Kans Jokowi vs Prabowo Pada Pilpres 2019

Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pasangan Capres Cawapres, Jokowi-Maruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno

Poros Jokowi akan mendapat tuduhan baru, menjadikan politik identitas sebagai tameng dan memanfaatkan ghirah populisme Islam dalam tanda petik hanya sebagai upaya mendulang suara pemilih kanan sehingga Jokowi berpotensi kembali dilirik suara umat.

Argumen dan narasi yang sebelumnya dibagun terkait Agama, lama yang harus dijauhkan dari politik. Pernyataan Presiden Jokowi bahwa agama dan politik harus dipisahkan, justru kini menjadi strategi jualan politik beliau, Jokowi seakan menjilat kembali air liurnya sendiri.

Ketiga, keterbatasan fisik (usia). Diusianya yang sudah mulai sepuh, Maruf Amin tentu punya keterbatasan ruang gerak mobilisasi dan adaptasi terhadap tantangan politik.

Jadwal kampanye yang padat dan luasnya wilayah akan dikunjungi (blusukan) menyulitkan beliau dalam melalui masa kampanye yang panjang dan melelahkan.

Di sisi lain, beliau juga akan kesulitan menyesuaikan diri dengan pemilih melenial. Jokowi harus habis-habisan mengantikan posisi dan peran tersebut dalam rangka merebut dan memenangkan hati kaum melenial.

Keempat; dukungan yang tidak sepenuhnya dari NU. Sebagi ormas terbesar di Indonesia pada hakikatnya bukan lah sesuatu yang tunggal, di dalamnya terdapat banyak elemen dan kepentingan.

Di kalangan NU sendiri dikenal sebutan NU Struktural dan NU Kultural, kedua segmen ini butuh pendekatan dan sentuhan berbeda (finishing toch).

Fakta politik menunjukkan NU Kultural dan NU Struktural bukanlah entitas politik yang dengan mudah dimobilisasi untuk mendukung atau tidak terhadap kandidat tertentu. NU juga tidak mudah dikapitalisasi rumah atau milik satu partai tertentu, namun kader NU milik dan ada di semua partai politik.

Contoh pengalaman (bentangan emperis) dalam Pilpres 2004 menunjukkan pasangan Megawati yaitu KH Hasyim Muzadi yang merupakan kader NU justru kalah dalam pilpres tersebut, begitu juga dalam beberapa pilkada kader NU justru menelan kekalahan di basisnya sendiri.

Di kubu Prabowo, pemilihan nama Sandiaga Uno juga tidak bisa dilepaskan dari beberapa kelemahan, Pertama; harus mengubah narasi kampanye-isu agama yang sudah tidak relevan. Politik identitas sepertinya akan mengalami kebuntuan dan ini tentunya positif untuk demokrasi kita.

Kubu Prabowo harus merubah narasi dan literasi kampanye ke arah yang lebih konstruktif seperti masalah ekonomi, keamanan, pembangunan dan pemerataan dan masuk ke isu kesejahteraan.

Menggeser narasi kampanye tentu membutuhkan kemampuan tersendiri, terutama soal data, mengigat kompetitornya adalah petahana yang tentu punya pengalaman, sudah berbuat, tidak lagi akan melakukan ini dan itu. Ini menjadi tantangan bagi sang penantang.

Yang jelas incambent punya modal dan kapsitas untuk menjawab setiap isu dalam bidang ini. Sehingga dibutuhkan upaya serius dari kubu Prabowo untuk menemukan narasi, formula, isu, tema yang tepat.

Kedua; basis sosial dan ideologi yang sama dengan Prabowo. Sandiaga Uno adalah orang dalam partai Gerindra sehingga dapat dipastikan ide dan gagasannya dengan Prabowo tidak jauh jauh berbeda.

Dari segi basis massa juga dapat dipastikan tidak akan terjadi perluasan basis massa dan akan kesulitan menjangkau segmen ceruk pemilih yang berbeda.

Berbeda dengan Jokowi-Maruf Amin, ceruk segmen pemilih keduanya tidak sama secara mainstream yakni kombinasi nasionalis-religius. Artinya Jokowi berpotensi dilirik umat ketimbang Prabowo.

Ketiga; jangkauan yang lemah terhadap segmen pemilih muslim. Pemilih Muslim relatif belum merepresentasikan dari sosok Sandiaga Uno, sehingga ada upaya dari partai koalisi terutama PKS untuk menyematkan gelar “Santri Pos-Islamisme” kepada Sandi.

Menyematkan gelar “santri” adalah upaya untuk meminimalisir kenyataan bahwa Sandiaga Uno memang agak kesulitan menjangkau pemilih umat.

Keempat; basis massa yang belum jelas. Basis pemilih adalah pertimbangan serius dan berkontribusi nyata dalam menyumbang insentif elektoral, menentukan kemenangan kandidat.

Sandiaga Uno secara basis belum teruji kecuali hanya di DKI Jakarta, dibutuhkan upaya serius untuk menutupi kekurangan ini sehingga pasangan Prabowo-Sandiaga Uno mendapatkan dukungan dari basis pemilih yang lebih luas dan nyata.

Oleh karena itu, berkaca dari kelebihan dan kekurangan dari masing masing pasangan capres-cawapres di atas, pada dasarnya pemilihan presiden 2019 nanti diprediksi akan berjalan cukup kompetitif, keras dan sangat dinamis.

Sudah saatnya kita meninggalkan politik yang berbasis pada SARA, narasi yang produktif dan konstruktif harus diprioritaskan, mari adu gagasan, narasi, visi misi, adu program yang diutamakan untuk menyongsong masa depan Indonesia yang lebih baik. Semoga!

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini