Oleh : Patrick Cooke *)
PRESIDEN Jokowi berjanji untuk memprioritaskan pengembangan sumber daya manusia dalam masa jabatan keduanya selama empat tahun ke depan.
Terkait dengan hal tersebut, Oxford Business Group telah melakukan ASEAN CEO Survey dan menemukan sejumlah pandangan menarik dari para pemimpin perusahaan di Indonesia serta penilaian mereka mengenai adanya kesenjangan keterampilan (skill gap) dalam ketenagakerjaan.
Selama lima tahun masa jabatan pertama Presiden Jokowi sebelumnya, program yang telah dilakukan berfokus pada percepatan pengembangan infrastruktur.
Namun, beliau mengakui bahwa Indonesia takkan mampu mencapai cita-citanya untuk menjadi negara dengan perekonomian terbaik kelima di dunia pada tahun 2045 apabila pemerintah tak mampu meningkatkan kualitas sumber daya di negara yang memiliki populasi sebesar 260 juta lebih ini.
Kesenjangan keterampilan merupakan kekhawatiran yang umum dirasakan oleh para pemimpin usaha yang berada di negara-negara berkembang di Asia Tenggara.
Baca: Perang dagang Cina-AS: Berapa besar kontribusi mahasiswa China di universitas Amerika?
Untuk itu, OBG mengadakan survey tatap muka bersama dengan 400 responden yang terdiri dari CEO dan setara di Indonesia, Thailand, Filipina, dan Myanmar dalam rangka membahas mengenai keterampilan apa yang perlu ditingkatkan untuk mengatasi kesenjangan tersebut.
Berdasarkan survey yang telah dilakukan, para responden dari Indonesia mengungkapkan bahwa kepemimpinan (32%) merupakan keterampilan yang paling tidak dimiliki oleh tenaga kerja baru di dalam negeri, diikuti dengan kemampuan TIK (22%), dan ilmu teknik atau engineering (20%).
Secara umum, para responden dari keempat negara tersebut menyampaikan bahwa keterampilan kepemimpinan (33%), ilmu teknik (18%), dan research and development (14%) merupakan yang paling tidak dimiliki oleh tenaga kerja di keempat negara ASEAN ini.
Meningkatnya permintaan terhadap tenaga kerja yang terampil dalam bidang teknik atau engineering merupakan hal yang wajar sebab keempat negara tersebut sedang gencar membangun infratruktur dan menjalankan berbagai rencana pengembangan.
Baca: Perang Impor Buat Pasar Mobil Tiongkok Anjlok, Mobil Listrik Malah Raih Tren Positif
Namun, kurangnya tenaga kerja yang memiliki keterampilan kepemimpinan merupakan tantangan yang cukup abstrak.
Sejumlah CEO di Indonesia juga sering mengeluhkan kurangnya manajer menengah (middle managers) terampil yang mampu menciptakan ide baru dan menjalankan beragam strategi bisnis.
Hal ini dapat menimbulkan dampak yang negatif di perusahaan karena tenaga kerja baru tidak mendapatkan arahan dan bimbingan yang baik dari manajer menengah tersebut.
Secara umum, para tenaga kerja di Indonesia juga semakin memerlukan berbagai keterampilan tingkat lanjut agar mampu mengikuti permintaan pasar tenaga kerja yang semakin menuntut, apalagi pemerintahan Jokowi berencana untuk merealisasikan Making Indonesia 4.0 dalam rangka mengembangkan industri manufaktur bernilai tinggi di dalam negeri.
Meskipun adanya kekhawatiran bahwa Revolusi Industri Keempat dapat menyisihkan tenaga kerja yang kurang terampil karena tak mampu bersaing, rencana pemerintah tersebut diprediksi dapat menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan tambahan pada tahun 2030.
Namun, diragukan bahwa Indonesia memiliki jumlah tenaga kerja terampil yang cukup untuk memenuhi permintaan industri teknologi tinggi karena hanya 22% yang lulusSMA.
Di sisi lain, Indonesia telah berhasil membangun perekonomian digital terbesar di Asia Tenggara dan menikmati kesuksesan dari sejumlah perusahaan unicorn baru.
Namun, Indonesia perlu lebih giat dalam menciptakan pemimpin usaha yang visioner dan memiliki keahlian wirausaha agar mampu merealisasikan ide inovatif menjadi sebuah kisah sukses yang realistis.
Hal ini juga memungkinkan Indonesia untuk memanfaatkan pasar dalam negerinya yang sangat dinamis dan menjaring berbagai peluang dari integrasi negara-negara Asia Tenggara.
Oleh karena itu, rencana ini tentunya sangatlah bergantung pada kesuksesan pemerintah dalam meningkatkan standar pendidikan selama masa jabatan Presiden Jokowi yang kedua, dan hal iniakan dibahas dalam the country report selanjutnya yang akan dirilis pada tahun 2020 mendatang.
Kecemasan terhadap dampak dari perang dagang
Para pemimpin usaha yang disurvei menyampaikan sejumlah kekhawatiran mereka terhadap ancaman eksternal yang dapat menghambat kemajuan perekonomian dalam negeri.
Para CEO di Indonesia, terutama yang berbasis di Jakarta, menyampaikan bahwa kebijakan proteksionisme (25%) merupakan ancaman terbesar bagi perekonomian dalam negeri, diikuti dengan jatuhnya permintaan dari Cina dan fluktuasi harga komoditas (23%).
Secara umum, para responden dari keempat negara menilai bahwa jatuhnya permintaan dari Cina (28%), kebijakan proteksionis (26%), dan merosotnya harga komoditas (20%) merupakan ancaman bagi perekonomian negara-negara yang disurvei.
Seiring dengan perekonomian di seluruh dunia yang terus merasakan dampak negatif dari perang dagang antara AS dan Cina, serta obsesi Presiden Donald Trump dalam membenahi defisit perdagangan AS, para CEO di Jakarta dan ibukota lainnya sangatlah khawatir terhadap permasalahanterkait dengan arus perdagangan antar negara.
Sama seperti di Filipina, Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak terlalu merasakan dampak negatif dari perang dagang karena memiliki pasar dalam negeri yang cukup dinamis.
Baca: Siswi Berseragam Putih Biru Kedapatan Sekamar Bersama Sejumlah Pria di Kos-kosan
Namun, perlu dicatat bahwa Cina merupakan mitra dagang bilateral yang besar bagi Indonesia dengan nilai impor dan ekspor yang cukup tinggi, sedangkan, AS merupakan mitra dagang kedua terbesar.
Seiring dengan Indonesia yang berupaya untuk meningkatkan rantai nilai industri dan mengatasi defisit perdagangan melalui peningkatan ekspor produk bernilai tinggi, para CEO sangat mencemaskan segala hal yang dapat mengganggu keseimbangan perdagangan internasional.
Indonesia berpeluang untuk mengisi kesenjangan rantai pasokan antara Cina dan AS seiring perusahaan dari kedua negara tersebut terdampak perang tarif, namun terdapat pula kekhawatiran akan terjadinya penurunan permintaan dari kedua negara tersebut yang dapat merugikan Indonesia.
Di sisi lain, pembuat kebijakan dan pemimpin perusahaan perlu lebih giat dalam melakukan upaya diversifikasi pasar ekspor dan menjalin perjanjian dagang dengan negara-negara lain yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Perlunya peningkatan iklim usaha
Faktor lain yang dapat menghambat ambisi Presiden Jokowi dalam merealisasikan cita-citanya adalah iklim usaha dalam negeri.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menargetkan Indonesia untuk masuk ke posisi 40 terbaik dalam kategori Kemudahan Berbisnis di World Bank pada akhir masa jabatan pertamanya.
Sayangnya, Indonesia justru merosot ke peringkat ke-73 pada tahun 2019.
Dalam survei, sentimen CEO di Indonesia terhadap perpajakan dalam negeri ikut menurun dibawah rata-rata.
Sentimen CEO di Indonesia terhadap kemudahan akses perkreditan juga memburuk dan dibawah Thailand dan Filipina.
Namun, CEO yang berbasis di Jakarta mengungkapkan sentimen yang positif terhadap transparansi kegiatan usaha dalam negeri.
Temuan lainnya, 50% responden di Indonesia optimis terhadap kualitas pemasok dan penyedia layanan lokal, sedangkan 24% responden netral.
Hal ini merupakan pertanda baik bagi perkembangan industri bernilai tinggi yang membutuhkan rantai pasokan yang dapat diandalkan.
Setelah berhasil memenangkan pemilu dan siap memimpin negara, kita akan melihat bagaimana Presiden Jokowi akan mendorong perubahan dalam negeri dalam rangka menjadikan Indonesia sebuah negara yang business-friendly bagi para pengusaha lokal maupun perusahaan asing yang ingin meraup potensi ekonomi di negara yang memiliki jumlah populasi terbanyak keempat ini.
*) Regional Editor for Asia Oxford Business Group *) pcooke@oxfordbusinessgroup.com