News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kebijakan Narkotika Indonesia Tumbalkan Perempuan

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Oleh Anggara *)

TRIBUNNEWS.COM -- Institute for Criminal Justivce Reform (ICJR) kembali mengingatkan Pemerintah Indonesia akan pentingnya reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Kebijakan narkotika yang selama ini hanya berfokus pada kriminalisasi ini sudah terlalu banyak memakan korban, khususnya kelompok rentan seperti perempuan.
 
Tanggal 26 Juni 2019 diperingati sebagai International Day Against Drug Abuse and Illicit Trafficking. Bertepatan dengan kesempatan ini, ICJR mendorong Pemerintah Indonesia untuk kembali mengevaluasi dan segera melakukan reformasi kebijakan narkotika yang ada.

Selama ini, kebijakan narkotika di Indonesia dititikberatkan pada UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika), yang masih sarat dengan nuansa kebijakan kriminal yang mengutamakan hukuman berupa pemenjaraan dan bahkan hukuman mati, dibandingkan dengan pendekatan kesehatan masyarakat. Sikap Presiden Joko Widodo yang mendeklarasikan "perang terhadap narkotika" di awal masa kepemimpinannya pun, juga memperburuk penanganan terhadap masalah narkotika di Indonesia.

Baca: Penasaran Tubuh Kekarnya Bisa Dibanting Iko Uwais, Dave Bautista Tanya Soal Pencak Silat

Baca: Viral Pelaksanaan Tryout CPNS di Media Sosial, BKN Angkat Bicara

Baca: Fakta-fakta Istri Praktik Poliandri Digerebek Suami, Diintai Pakai GPS hingga Sempat Minta Cerai
 
Langkah Pemerintah Indonesia untuk mengutamakan kebijakan kriminal dalam menyelesaikan problematika perdagangan gelap narkotika, jelas telah memakan lebih banyak korban, khususnya perempuan.

Tercatat sampai dengan Januari 2019 berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 5.579 (53%) narapidana perempuan yang ada saat ini dipenjara karena terbukti melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan narkotika dengan tanpa adanya kekerasan.

Data tahun 2000 sampai dengan 2018, ditemukan 22 kasus pidana mati yang terpidananya adalah perempuan, yang mana 18 diantaranya dijerat karena tindak pidana narkotika. 4 dari 18 perempuan tersebut telah dieksekusi sejak tahun 2000.  
 
Kegagalan sistem peradilan pidana untuk melihat kerentanan perempuan yang teribat dalam kasus-kasus narkotika karena adanya skema relasi kuasa di dalam masyarakat, yang pada akhirnya memengaruhi kebebasan perempuan untuk menentukan pilihannya, ditambah dengan kencangnya pengumandangan narasi "perang terhadap narkotika" menjadikan perempuan yang terlibat dalam kasus narkotika harus menghadapi hukuman yang berganda dalam proses peradilan pidana yang dihadapinya.
 
Berdasarkan data putusan pidana mati ICJR yang digunakan dalam penelitian "Menyelisik Keadilan yang Rentan: Hukuman Mati dan Penerapan Fair Trial di Indonesia (2019)" yang terdiri dari 100 putusan pidana mati dengan dokumen yang lengkap, 5 diantarnya melibatkan perempuan yang dijatuhi pidana mati karena terlibat kasus narkotika.

Dalam riset ICJR lainnya oleh Peneliti kami, Maidina Rahmawati, "Analyzing Fair Trial Aspect of Death Penalty for Drug Cases in Indonesia (Policy and Implementation: Special Cases on Women) ditemukan bahwa kerentanan-kerentanan perempuan yang selama ini diabaikan oleh sistem peradilan pidana yang ditunjukkan dalam beberapa kondisi:
 
(1) Dalam kasus Mary Jane Veloso, Tuti Herawati, dan R.A Sriemoetarinivianti, ketiganya adalah orang tua tunggal (single mother) yang sedang dalam kesulitan ekonomi dan datang dari keluarga yang kurang mampu.

(2) Dalam 5 kasus terpidana mati narkotika perempuan yang ditemukan, semua perempuan adalah korban eksploitasi oleh laki-laki: suami, pacar, tetangga, maupun bandar narkotika.

(3) Dalam seluruh kasus terpidana mati perempuan ini, juga ditemukan adanya pelanggaran hak-hak terhadap fair trial seperti hak atas penerjemah yang kompeten.
 
Kondisi dimana perempuan menjadi korban dalam penegakan hukum atas kasus narkotika ini, akan berdampak serius apabila jumlah narapidana narkotika perempuan terus bertambah mengingat saat ini problematika overcrowding di Indonesia masih belum teratasi, kondisi Rutan dan Lapas khusus perempuan yang jumlahnya pun belum mencukupi sehingga pemisahan fasilitas belum dapat dilakukan dengan maksimal, dan belum terjaminnya pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi yang ada di Rutan dan Lapas. Kondisi ini akan terus terjadi apabila reformasi kebijakan narkotika tidak segera dilakukan dan diarahkan kepada pendekatan kesehatan dibandingkan penghukuman.

Dalam keadaan sekarang, hal ini justru diperburuk dengan masih adanya semangat penghukuman melalui masuknya beberapa tindak pidana yang biasa dipakai menjerat perempuan ke dalam Rancangan KUHP. Perempuan akan terus-menerus menjadi korban, mengingat kerentanan sosial dan budaya yang melingkupi perempuan sebagaimana telah dijelaskan di atas.
 
Pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo, yang pada Sidang Umum PBB ke-71 didaulat menjadi duta "He for She" dalam program "Impact 10X" harus bisa memperhatikan kerentanan perempuan dalam kasus-kasus narkotika ini.

Mengingat peningkatan akses kesehatan dan upaya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu misi yang dibawa oleh duta "He for She", Pemerintahan Presiden Joko Widodo harus menunjukkan komitmen dan kesungguhannya dalam mengemban amanat tersebut, dengan merumuskan kembali kebijakan narkotika dan menghindari kacamata pidana dalam masalah narkotika, sehingga kebijakan narkotika yang baru akan lebih melindungi kelompok rentan khususnya perempuan dan menghentikan rantai kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap perempuan yang terlibat kasus narkotika.

*) Anggara adalah Direktur Eksekutif ICJR

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini