Oleh: Rudi S Kamri
TRIBUNNEWS.COM - Salahkah Hadiati Basjuni Allie saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 menjadi pendukung militan Prabowo Subianto? Tidak salah.
Itu hak dia sebagai warga negara Indonesia yang dijamin Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Menjadi salah saat dia begitu “kekeuh” memuja berlebihan ideologi khilafah dan begitu kasar menghina dan mencaci Kepala Negara dengan ujaran kebencian yang luar biasa biadab.
Hadiati Basjuni Allie mungkin otaknya sudah menjadi kumuh terpapar virus khilafah saat dia melakoni perannya sebagai kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Artinya, kalau dia pendukung fanatik PKS, sudah bisa dipastikan dia pendukung ideologi khilafah garis Ikhwanul Muslimin, bukan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Meskipun mazab perjuangan kelompok mereka berbeda, tapi ideologi besar mereka sama, yaitu ideologi khilafah.
Saya sangat “haqqul yaqin” ideologi khilafah masih kuat mengental dalam darah Hadiati Basjuni Allie sampai saat ini.
Dugaan saya terbukti dari postingan FB Hadiati di bulan Desember 2018 yang dengan semangat mengelu-elukan ideologi khilafah.
Mari kita soroti anaknya, Enzo Allie. Tunas muda berdarah Indo-Perancis ini beberapa hari lalu menjadi “spotlite” media saat diajak ngobrol Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dengan menggunakan bahasa Perancis.
Entah karena tertarik dengan Panglima TNI yang lagi pamer kefasihannya dalam bahasa Perancis atau karena Enzo Allie berwajah tampan, video itu menjadi viral.
Keviralan video tersebut rupanya jalan Tuhan untuk menguak siapa sejatinya pemuda Enzo itu.
Pemuda yang bangga mengibarkan bendera khilafah dan bersemangat menghujat pemerintah.
Bagaimana mungkin anak muda yang gandrung dengan bendera khilafah dan anak dari seorang emak militan pejuang khilafah bisa lolos tes masuk Akademi Militer (Akmil)?
Saya belum berani mengatakan Enzo Allie sudah terpapar virus khilafah. Mungkin hanya ikut- ikutan ibunya. Mungkin hanya sok gagah mengibarkan bendera khilafah sambil mencaci maki pemerintah cq Presiden Joko Widodo.
Tapi apa pun mazab dan ideologi yang dianut oleh Enzo Allie, saya sangat menyesalkan kecerobohan filter seleksi dalam perekrutan taruna Akmil.
Bagaimana mungkin anak dari pengikut khilafah bisa lolos menjadi Tentara Penjaga Negeri?
Menurut pengamat intelijen Indonesia yang intens mengamati perkembangan intelijen negara Suhendra Hadikuntono, kejadian ini menandakan fungsi intelijen TNI tidak bekerja dengan semestinya.
Suhendra mengatakan hal ini seharusnya tidak perlu terjadi. Karena kalau benar ternyata ada upaya penyusupan kader pro-khilafah ke dalam institusi TNI, hal ini akan membahayakan TNI dan negara.
Menurut beliau, fungsi intelijen yang paling utama adalah mencegah dan menangkal, bukan penindakan, dan kejadian ini menandakan fungsi cegah-tangkal dari intelijen TNI tidak bekerja dengan baik.
Sekali lagi ini pelajaran yang paling berharga bagi kita semua. Beruntunnya kasus yang menimpa negeri ini mulai tragedi Bank Mandiri, Blackout PLN dan peristiwa lainnya, harus dijadikan momentum bagi intelijen negara untuk mempertajam daya endusannya untuk memantau pergerakan kaum pro-khilafah.
Dengan kegagalan total mereka menunggangi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019, saya meyakini mereka akan berupaya keras melakukan aksi infiltrasi ke segala lini vital di negeri ini.
Mungkin saatnya perlu dipikirkan bahwa institusi intelijen negara tidak lagi dipegang oleh politisi, polisi atau militer.
Tapi seperti negara-negara lain di dunia seperti CIA di Amerika, KGB di Rusia dan MI6 di Inggris, institusi intelijen negara selayaknya dipegang oleh orang sipil yang mumpuni di bidang intelijen agar daya tangkal dan daya endus intelijen negara kita lebih fokus dan tajam.
Mudah-mudahan ini momentum emas bagi Presiden Jokowi untuk lebih jeli menentukan orang-orang yang tepat untuk membantu pekerjaan besar beliau untuk Indonesia.
Selanjutnya kita tunggu saja langkah konkret TNI untuk mengambil tindakan tegas dan nyata dalam kasus Enzo Allie.
Rudi S Kamri: Pegiat Media Sosial.