Penulis:
Leonardus O Magai
Mahasiswa Papua di Kota Bandung
DUA hari sebelum peringatan HUT Ke-74 tahun kemerdekaan Indonesia, terjadi persekusi dan rasialisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang oleh pihak ormas reaksioner, sehingga ditanggapi serius oleh rakyat Papua di Bumi Cendrawasih.
Ada banyak hal terjadi di antaranya kerusakan bangunan, rumah, pasar, bank, kantor layanan publik dan kerusuhan antara orang Papua dengan pihak militer membuat orang Papua tak aman termasuk keberadaan mahasiswa Papua di Jawa Barat ikut kena dampak.
Demokrasi Indonesia mensyaratkan penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap hak asasi manusia, pelecehan terhadap martabat kemanusiaan setiap warga negara adalah langkah awal kemunduran demokrasi kita.
Peristiwa tidak beradab yang dilakukan oleh aparat negara dan ormas terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya yang menyebabkan gelombang aksi besar-besaran di Manokwari, Sorong, Fak-fak, Timika, Maybrat, Sorong Selatan, Kaimana, Merauke, Nabire, Wamena, Yahukimo, dan Jayapura seharusnya tidak perlu terjadi jika kita, para ormas, termasuk aparat negara, menyadari bahwa kemanusiaan adalah mahkota dari hidup bersama dalam negara berdemokrasi Pancasila.
Sayangnya, meski telah merdeka 74 tahun, bangsa kita masih jauh dari beradab.
Negara masih memandang bangsa Papua sebagai the second class in the state dan karena itu berani mengatakan Orang Papua adalah Monyet.
Dalam hal ini, negara telah gagal menjamin hak-hak setiap warga negara untuk berpendapat, berserikat dan berkumpul untuk menyampaikan pendapat di muka umum serta membiarkan terjadinya persekusi dan praktik rasial terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya.
Negara gagal menjalankan tugasnya sebagai penjamin dan pengadil hukum, HAM dan Keamanan karena tidak hadir untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, justru hadir sebagai aktor yang memprovokasi terjadinya tindakan rasis dan aksi biadab tersebut.
Demi menjaga kedamaian dan ketertiban Negara, seharusnya Presiden Republik Indonesia Joko Widodo bukan hanya meminta maaf, tetapi Presiden memerintahkan kepada Kapolri untuk segera mencopot jabatan Kapolrestabes Surabaya dan Kapolres Malang serta Kapolda Jatim karena lalai menjalankan tugasnya.
Selanjutnya, Presiden seharusnya tegas dan lugas dalam mengambil keputusan di antaranya, perintahkan kepada Kapolri dan Komnas HAMuntuk investigasi guna mengungkap siapa pelaku rasis dan fasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.
Saya kecewa atas keputusan Presiden Joko Widodo yang hanya meminta saling memaafkan, padahal pihak pejabat pemerintah ikut campur tangan dalam masalah ini.
Sebaiknya, Presiden memberikan teguran keras kepada Wakil Wali Kota atas pernyataan sesat dan menyesatkan yang disampaikan melalui media secara terbuka.
Semua kerusakan dan kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat karena pejabat pemerintah dan pihak militer menjadi aktor.
Ditambah lagi Presiden tidak tegas dan lambat dalam mengambil keputusan yang jauh dari adil dan beradab dimata hukum guna menjaga persatuan dan kesatuan bangsa sehingga warga Papua marah.
Saya juga meminta kepada pihak militer baik TNI maupun Polri di seluruh Tanah Air untuk jangan bertamu dan silaturahmi di kos-kosan atau kontrakan mahasiswa Papua saat kondisi di Papua dan Papua Barat lagi memanas.
Kalau bisa datang ke Asrama Mahasiswa Papua masing-masing kota secara menyeluruh melalui Ketua IMAPA masing-masing kota.
Saya meminta kepada Presiden untuk segera tarik pasukan militer baik organik maupun non organik dari tanah Papua demi menjaga kedamaian.
Kalau tidak dilakukan maka konflik di Papua tak akan berakhir sehingga segera desekuritisasi pasukan militer di Bumi Cendrawasih.