TRIBUNNEWS.COM - Konsultan politik, Denny JA angkat bicara mengenai kontroversi RUU KUHP.
Ia mendukung keputusan Presiden Joko Widodo yang meminta pengesahan RUU KUHP ditunda.
“Untung saja Presiden Jokowi meminta pengesahan RUU KUHP ditunda. Jika tidak, Jokowi, berserta pimpinan DPR akan dicatat sejarah sebagai pemimpin dan politisi yang membawa Indonesia melanggar hak asasi manusia," kata Denny JA dalam keterangan tertulis, Minggu (22/9/2019).
Denny JA merujuk satu prinsip saja dalam RUU KUHP itu. Yaitu pidana seksual, pasal 417 KUHP ayat 1 yang berbunyi:
Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II.
Pasal itu, ujar Denny, bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang dijamin PBB.
"Right to sexuality itu sudah menjadi prinsip Hak Asasi Manusia. Ia menjadi bagian dari Rights to privacy di bidang seksualitas," kata kata Denny.
Persepsi yang berbeda soal seksualitas dan tindakan yang mengikutinya, Denny mengayakan sejauh itu terjadi antar orang dewasa, dan suka sama suka, bukanlah tindakan kriminal.
"Mungkin ada yang bertanya, dimana salah pasal itu? Bukankah memang hubungan seksual di luar pernikahan itu berdosa? Justru di situ masalahnya," kata Denny.
"Negara modern berdiri di atas prinsip: tidak semua yang berdosa menurut paham agama harus diadopsi oleh negara dengan ganjaran hukum penjara," tambahnya.
Sambung Denny, prinsip agama yang melarang hubungan seksual dan LGBT di luar pernikahan sebagai dosa memang dihormati.
Mereka boleh berkampanye untuk itu. Tapi negara modern tidak menjadikan larangan agama itu sebagai tindakan kriminal.
"Ini ruang pribadi warga negara dewasa," katanya.
Di tahun 1911, Denny mencontohkan pemerintah Belanda melarang hubungan seks homoseksual. Pelakunya bisa masuk penjara.