Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Aku tak setuju dengan revisi Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pasalnya, revisi UU KPK yang sudah terlanjur disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa (17/9/2019) lalu itu jelas menguntungkan koruptor.
Betapa tidak?
Penyadapan yang dilakukan KPK tidak akan leluasa lagi, karena harus seizin dulu Dewan Pengawas yang segera dibentuk.
Mungkin tak akan terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT) lagi, karena penyadapan mudah bocor, sehingga tak ada tontonan menarik bagi publik ketika koruptor diborgol dan digiring ke gedung KPK.
Diakui atau tidak, publik merasa sedikit terhibur ketika melihat koruptor berseragam oranye digiring ke KPK.
Seseorang yang sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka mungkin akan dilepas lagi setelah tersangka “main mata” dengan penyidik atau pimpinan KPK, karena KPK bisa menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Kasus korupsi yang sifatnya sangat rumit dan njelimet, yang melibatkan banyak orang dan lembaga, baik nasional maupun internasional, mungkin akan lolos dari jeratan KPK, karena lembaga antirasuah ini hanya diberi waktu dua tahun untuk menyidiknya.
Baca: Video Viral 'Penampakan Naga di Kalimantan' Ini Buat Heboh, Kejadian Tahun 2010 Tak Kalah Heboh
Lebih dari dua tahun, kasus yang rumit itu harus dilepas.
Aku juga tak setuju dengan masuknya Firli Bahuri yang kontroversial itu sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 yang bisa menjadi kuda Troya, melemahkan KPK dari dalam, sehingga KPK pun bisa menjadi lame duck (bebek lumpuh), dan hanya fokus pada upaya pencegahan dengan mengesampingkan upaya penindakan sesuai visi dan misinya saat fit and proper test (uji kelaikan dan kepatutan) di Komisi III DPR, sehingga kepanjangan KPK pun bisa menjadi Komisi Pencegahan Korupsi.
Aku pun tak setuju dengan aksi demonstrasi massa yang mengklaim sebagai mahasiswa yang mendukung revisi UU KPK, karena dari sisi logika sudah tidak masuk akal.
Bagaimana bisa aksi demo digelar, padahal revisi UU KPK sudah disahkan DPR, dan aksi itu pun digelar di depan gedung KPK pula. Di sini kadang aku merasa sedih!
Bila dalihnya adalah karena pegawai dan pimpinan KPK menolak revisi UU KPK, bukankah dalih ini bisa dipatahkan dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengamanatkan pemerintah dan DPR melibatkan masyarakat dan lembaga terkait dalam pembahasan UU. KPK adalah lembaga terkait itu, bahkan stakeholder (pemangku kepentingan) dari UU KPK.
Aku tak setuju dengan revisi UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasalnya, revisi itu akan mempermudah pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa atau extraordinary crime seperti korupsi dan terorisme.
Revisi ini juga akan mengatur hak cuti bersyarat bisa digunakan oleh narapidana untuk keluar lembaga pemasyarakatan dan pulang ke rumah atau jalan-jalan ke mal sepanjang didampingi petugas.
Aku juga tak setuju revisi UU No 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasalnya, hukuman bagi koruptor akan lebih ringan daripada bila menggunakan UU No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dalam UU Tipikor, minimal hukuman korupsi adalah 4 tahun penjara, sedangkan dalam RUU KUHP menjadi 2 tahun penjara. Selain itu, ancaman hukuman mati bagi koruptor di RUU KUHP sudah tidak ada lagi.
Tapi aku juga tak setuju bila aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya melenceng dari tujuan awalnya, yakni menolak revisi UU KPK, UU Pemasyarakatan, KUHP dan UU lain yang juga dianggap bermasalah.
Aku tak setuju pula bila aksi demo itu menabrak rambu-rambu UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, misalnya berlangsung anarkistis atau melampaui batas waktu yang ditentukan, pukul 18.00.
Apalagi bila aksi itu ditunggangi kepentingan kelompok tertentu, apakah kepentingan politik atau kepentingan ekonomi. Bila benar ada yang menunggangi seperti disanyalir sejumlah pihak, lalu siapa penunggang gelap itu?
Kini, Presiden Joko Widodo dan DPR telah sepakat menunda pengesahan revisi UU Pemasyarakatan dan KUHP.
Hanya saja, untuk revisi UU KPK yang sudah terlanjur disahkan DPR, Presiden Jokowi menolak untuk membatalkannya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang KPK.
Langkah Jokowi ini berbeda dengan saat ia menerbitkan Perppu No 2 Tahun 2017 untuk menggantikan UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Perppu ini digunakan untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Apakah di mata Jokowi ormas diduga radikal itu lebih berbahaya ketimbang koruptor?
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan, aksi demonstrasi mahasiswa sudah tidak relevan lagi karena Presiden Jokowi telah menyatakan menunda pengesahan revisi UU Pemasyarakatan, KUHP, UU Pertanahan dan UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang ditolak publik itu
Lantas, apakah aksi demo yang terjadi di Jakarta dan puluhan daerah itu akan serta-merta berhenti? Kita tidak tahu pasti.
Yang jelas, mahasiswa harus waspada terhadap para penunggang gelap yang bisa menyusupi gerakan mereka.
Bila katakanlah nanti Presiden Jokowi membatalkan revisi UU KPK dengan menebitkan perppu tapi aksi demo terkait itu masih tetap berlangsung, berarti memang patut diduga ada penunggang gelap yang menunggangi gerakan mahasiswa.
Siapa mereka? Salah satunya pasti koruptor.
Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.