Di antara mereka malah terindikasi kuat terlibat dalam drama pengaturan skor pertandingan (match fixing).
Bagaimana mungkin orang-orang dengan reputasi jeblok seperti mereka bisa diharapkan mampu meningkatkan prestasi sepak bola Indonesia?
Belum lagi adanya konflik kepentingan. Di antara Exco yang terpilih ternyata merupakan pemilik atau pengurus klub sepak bola. Bagaimana mungkin seorang regulator dalam genggaman satu tangan dengan objek regulasi, atau wasit sekaligus merangkap pemain?
Kalau ditelisik secara lebih rinci, asal-muasal kekisruhan yang terjadi dalam tubuh PSSI adalah kurang teguhnya para voter PSSI. Mereka tidak mempunyai kemauan untuk berubah.
Alasan pragmatisme uang, main aman dan ketakutan ditekan adalah alasan klise yang selalu digaungkan oleh para voter.
Mereka tidak punya nyali untuk melawan praktik uang haram dan kuatnya tekanan. Tindakan pengecut mereka secara tidak langsung telah mengkhianati masyarakat sepak bola Indonesia.
Dengan fenomena dan rentetan peristiwa yang terjadi, masihkah kita berharap kepada PSSI dengan pengurus baru? Secara pribadi saya sudah tidak punya harapan lagi.
Kapasitas, kapabilitas dan track records (rekam jejak) para pengurus federasi sepak bola Indonesia yang baru sangat tidak bisa diharapkan memperbaiki tata kelola persepakbolaan nasional.
Masa depan persepakbolaan Indonesia telah disuramkan oleh para pemangku kepentingannya sendiri. Mudah- mudahan saya salah.
Alhasil, sepak bola Indonesia masih tetap tidak berubah, penuh drama adu dana dan adu kuasa tanpa akhir cerita.