News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Piagam Madinah, Strategi Militer Iran dan Pengkhianatan Donald Trump

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH. Imam Jazuli, Lc. MA, Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Piagam Madinah, Strategi Militer Iran dan Pengkhianatan Donald Trump

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

Umat muslim sejak Perang Khandaq (Syawal 5 H./ April 627 M.) telah belajar cara bertahan melawan kepungan musuh. Pasukan muslim Madinah pada jaman Rasulullah saw juga telah banyak belajar strategi militer dari Salman al-Farisi, seorang sahabat Nabi kelahiran Iran. Sekali pun kota Madinah diserbu pasukan kafir Quraisy dari luar dan menghadapi pengkhianat Yahudi dari dalam, umat muslim tetap menang.

Piagam Madinah memang ditandatangani tahun 622 M., tetapi Perang Khandaq adalah saksi mata bagaimana piagam perdamaian tersebut dikhianati. Ketika perang Khandaq dimenangkan pihak muslim, Rasulullah saw ambil keputusan berat tetapi bijak. Yaitu, mengusir seluruh pengkhianat dari kota Madinah tanpa sisa satu orang pun.

Seluruh kebijakan militer Perang Khandaq berhutang budi kepada Salman al-Farisi. Persia sejak dahulu memang sudah berkontribusi besar pada kebesaran Islam. Sejak dulu pula, strategi militer Persia (Iran) selalu bertahan dan bersabar menunggu musuh menyerang atau menunggu pengkhianat beroperasi. Persia atau Iran tidak pernah agresif dan menyerang terlebih dahulu.

Piagam Madinah adalah kisah lama. Hari ini, piagam perdamaian itu direpresentasikan oleh Dewan HAM PBB. Namun, Amerika telah menyatakan keluar dan menuduh Dewan PBB sebagai kumpulan orang munafik. Tidak saja soal HAM, Amerika keluar dari Perjanjian Pembatasan Senjata Nuklir Jarak Menengah. Karenanya, PBB bersuara dalam kasus Afghanistan bahwa Amerika telah langgar Hukum Humaniter Internasional (Kompas, 10/10/2019).

Sebagaimana kelompok Yahudi dan kafir Quraisy mengabaikan Piagam Madinah tahun 627 M, Amerika bertindak serupa. Dan sebagaimana Rasulullah saw mengusir pada pengkhianat dari kota Madinah, Parlemen Iraq pun mengusir seluruh Pasukan Asing dari negaranya. Amerika tentu kecewa. Jika keputusan Rasulullah SAW dulu berhutang pada Salman al-Farisi, keputusan Parlemen Irak hari ini berhutang pada Iran.

Persia atau Iran sejak dulu adalah kontributor utama pemikiran Islam tentang strategi militer. Sejak dulu hingga sekarang pun, perang dalam Islam hanya bertujuan untuk bertahan dan tidak untuk memulai. Strategi militer berupa mempertahankan diri dan tidak menyerang ini diambil dari spirit al-Quran. Vladimir Putin, atas restu Recep Tayyip Erdogan dan Hassan Rouhani, mengutip ayat tersebut. Karenanya, Rusia, Turki dan Iran menyerukan perdamaian bukan perang di Timur Tengah.

Lebih mengutamakan perdamaian dari pada perang, mendahulukan cinta kasih dari pada kebencian, adalah jalan dakwah Islamiah. Sikap Kementerian Luar Negeri Indonesia terkait eskalasi di Timur Tengah ini sudah benar, mendesak seluruh pihak untuk menahan diri dari tindakan yang memperburuk situasi. Sekali pun banyak musuh mengkhianati Piagam Madinah dan Piagam PBB, tetap saja kita harus berjuang di jalan kebenaran demi perdamaian abadi.

Memang benar, kita sebagai sebuah bangsa dalam keadaan keterbatasan. Sementara masalah berupa peperangan muncul dimana-mana; Uyghur, Rohingya, Palestina, Yaman, dan tempat-tempat lain. Belum lagi persoalan-persoalan dalam negeri yang menggunung, mulai dari korupsi oleh para elite politik, konflik agama, hingga bencana alam. Sementara di sisi lain, kita mencita-citakan mampu mengatasi problem dalam negeri dan ikut serta mengatasi problem dunia.

Semoga saja kita tidak sedang mengigau dan bermimpi di siang bolong. Tetapi, dengan belajar pada Piagam Madinah (5 H./622 M.), kita masih bisa optimis. Piagam Madinah mengajarkan tentang arti persatuan dan kerukunan berbasis keragaman dan perbedaan, baik berbeda ras (Arab dan Yahudi) maupun beda agama (Islam, Yahudi, Nashrani). Bersatu tanpa pengkhianatan demi menjaga keamanan dan ketertiban negara Madinah; tempat hidup semua orang.

Di sisi lain, Piagam Madinah mengajarkan bahwa ketika terjadi pengkhianatan terhadap asas perdamaian dan persatuan ini, Rasulullah saw melakukan pengusiran. Jika Parlemen Irak mengambil keputusan mengusir tentara asing dari negaranya, maka Indonesia membubarkan HTI dan kroni-kroninya. Sikap politis semacam ini sudah sesuai dengan sunnah Rasul. Termasuk juga protes Kementerian Luar Negeri (Kemlu) atas pelanggaran China dalam kasus klaim atas pulau Natuna belakangan ini.

Pengusiran Rasulullah saw terhadap para pengkhianat Piagam Madinah, pengusiran Parlemen Irak atas tentara Amerika, dan penolakan Kemlu atas klaim China di Natuna, semua itu diartikan sebagai upaya menjaga kedaulatan sebuah negara. Dari semangat sejarah semacam inilah, para ulama dan masyaikh Nahdlatul Ulama mengusung satu prinsip bersama: “hubbul wathan minal iman (nasionalisme itu bagian dari Iman)”. Resolusi Jihad yang dikobarkan Kiai dan Santri pun sejatinya penerjemahan atas Piagam Madinah tersebut.

Sudah saatnya kita membangun peradaban dunia ini tanpa melibatkan logika perang dan pertumpahan darah di dalamnya. Penulis rasakan, dimana-mana, baik di negara maju maupun berkembang, kebencian, permusuhan, dan perang masih dipakai sebagai alasan untuk membangun peradaban versi masing-masing. Seakan-akan nalar purba ini menjerat kemanusiaan kita. Amerika dan Iran, dalam kasus ini, seperti serupa. Yakni, ingin mempertahankan idealisme masing-masing, tetapi pilihannya adalah kekerasan dan perang. Masalahnya, sampai kapan? Apakah tidak ada pilihan lain?

*Penulis adalah Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini