Gus Baha’, Sampaikanlah Kebenaran dengan Santun dan ramah!
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
Prinsip Islam mengatakan, “maniz dada ilman walam yazdad hudan lam yazdad minallahi illa bu’dan,” barang siapa bertambah ilmunya, dan tidak bertambah hidayah di hatinya, ia hanya menambah jauh jarak dari Allah (HR. Abu Mansur ad-Dailami).
Seorang da’i muda yang kebetulan kondang dengan ilmu pengetahuannya yang luas, tiba-tiba di luar prediksi membanding-bandingkan kiai Jawa Timur dan kiai Jawa Tengah. Dialah Gus Baha’ sebutan “keartisannya.”
Jika benar pengakuannya, saat keluar dari kantor PWNU Jawa Timur ada orang yang menawari voucer umrah dan ditolaknya gara-gara ia merasa diri sebagai Kiai Jawa Tengah, maka saat itulah dia sedang bermain “framing”, menciptakan isu dikotomi kiai Jawa Timur versus Jawa Tengah. Sejak kapan kiai-kiai dibentur-benturkan dengan pola perilaku sosial-religi mereka semacam itu?
Sangat mulia niat hati Gus Baha’ ketika memasang “tarif” bahwa dirinya hanya mau mengaji di pesantren-pesantren Jawa Timur seperti Tebu Ireng, Pondok Syaikhona Kholil, Pondok Termas, jika “dibayar” dengan naskah karya asli para kiai. Spiritnya untuk mengajak santri berpikir filologis dan mencintai pemikiran ulama Nusantara patut dicontoh.
Tetapi, apakah layak muncul ucapan dari lidah figur publik semacam itu sebuah pernyataan yang berbunyi: “naskah masyaikh kita ada di luar negeri, cucunya ga punya. Saya punya naskah Syeikh Mahfudz. Akhirnya, para cucunya ngaji ke sini”? Sejak kapan seorang kiai membuka “cacat” kiai lain sekalipun itu perkara kebenaran?
Apakah Gus Baha’ sedang mengamalkan bunyi hadits: “sampaikanlah kebenaran walaupun itu menyakitkan?” (HR. Ahmad, 5/159)? Menurut Syeikh Syu’aib Al-Arnauth hadits ini memang shahih dan sanadnya hasan. Tetapi, apakah masih tersisa hati nurani pada diri Gus Baha’ yang kemudian ceplas-ceplos mengatakan, “Sirojut Thalibin dicetak di Yaman, namun kita tahu nasibnya di Jampes!”?
Kita yang memakai hati nurani dan menjaga adab pada kiai semakin kesulitan mencari sisi positif dari ucapan Gus Baha’ itu, terlebih saat mengatakan: “Kiai-kiai NU sudah alim. Ngerti hukum secara tafsil, kok malah hobi bicara yang mujmal. Ini kan sudah mau pinter, disuruh goblok lagi.” Pertanyaannya, layakkah seorang penceramah berkebudayaan NU melempar asumsi pada perilaku kiainya sendiri yang mengarah pada kegoblokan?
Dari segi akhlak, etika, moral, dan tata krama (andap asor), Gus Baha’ harus berminta maaf atas ucapannya yang “berlandaskan ilmu pengetahuan” luas tapi menyakitkan hati banyak orang. Kiai-kiai sepuh NU kita sudah pasti memaafkan dan memaklumi perilaku lancang Gus Baha’, yang merasa NU akan besar dengan caranya yang subjektif tersebut. Kiai-kiai sepuh jauh lebih paham cara membesarkan warga Nahdliyyin dan jam’iyyah NU itu sendiri, sekalipun tidak ikut opini Baha’.
Ilmu pengetahuannya yang luas itu, jika tidak mau diukur dari segi akhlak dan adab, maka satu-satunya pilihan harus dipertanggungjawabkan di hadapan sidang akademik. Sebagaimana kita pelajari bersama di bangku kuliah, kitab-kitab turats yang ada di pesantren kita, yang diproduksi oleh para ulama dari abad 7-13 Masehi, hanya sebatas teks biasa. Tidak ada bedanya dengan teks lain. Ini sudut pandang semiotika.
Entah itu teks primer seperti kutubus sittah, kitab-kitab dari mazahibul arba’ah, kitab-kitab tafsir al-Quran yang bir ra’yi atau bil ma’tsur, kitab-kitab tasawuf, dan lainnya, semua itu hanya teks biasa. Pengarang (author) sudah mati. Karena itulah, mempelajari kitab turats yang Gus Baha’ anjurkan tidak jauh lebih baik dari belajar perkembangan sains kontemporer, bahkan yang diimpor dari Barat.
Kiai-kiai dan santri-santri tidak mesti mengaji sebagaimana Gus Baha’ bayangkan untuk membesarkan NU. Realitas sosial, politik, dan ekonomi yang warga Nahdliyyin hadapi hari ini tidak terpecahkan dengan teori-teori klasik. Tetapi, bukan berarti semua kitab turats tidak penting. Namun, kecerdasan warga Nahdliyyin harus diimbangi. Ya belajar kitab, ya belajar perkembangan sains terbaru. Ya ngaji model Gus Baha’, ya ngaji model kiai-kiai lain. Ini pendekatan sosiologi ekonomi-politik, bukan saja filologi yang Baha’ bayangkan.
Belum lagi kita berbicara ilmu-ilmu dari disiplin hubungan internasional, ketahanan dan keamanan, militer, sains eksakta. Semua pendekatan ini dapat digunakan untuk membaca bagaimana keadaan warga Nahdliyyin hari ini, dan bagaimana mestinya ke depan. Mengajak para Kiai ngaji model Gus Baha’ hanya merupakan kemunduran paradigmatis. Pesan penulis pada Baha’ itu, “al muhafazhah alal qadimis soleh wal akhdzu bil jadidil aslah.” Terjemahan bebasnya: ayo kita ngaji kitab model Gus Baha’, tapi jangan lalaikan model-model perjuangan para kiai-kiai NU yang lain.
Di titik inilah, para santri jangan sampai tersesat oleh opini Gus Baha’ yang cenderung pseudo-science, kebenaran semu yang parsial. Jangan pernah khawatir bahwa kealiman para Kiai NU akan hilang hanya gara-gara menjadi mubalig, berdakwah dengan diiringi musik, atau isinya hanya guyonan dan tertawa terbahak-bahak. Penulis perhatikan video rekaman ceramah Gus Baha’ memang berhasil membuat audiens tertawa, tetapi banyak dengan cara menunjukkan keluasan ilmunya sendiri. Emangnya ada yang ragu pada keilmuannya Gus Baha'? Penulis yakin Gus Baha' tidak butuh pengakuan orang lain, kecuali saya salah.
Coba buka halaman pertama Kitab Shahih Bukhari, Siti Khadijah Istri Nabi jadi saksi mata akhlak suaminya itu jauh sebelum wahyu pertama turun di Gua Hira'. Siti Khadijah bersaksi bahwa Nabi itu punya lima kebiasaan: silaturahmi, menolong orang lain, menciptakan solusi kreatif, menghormati tamu, dan menolong para pejuang kebenaran. Ingat, wahyu untuk lima kebaikan itu belum turun lewat al-Quran. Sungguh inilah teladan mulia Nabi, mau mengunjungi dan terbuka dikunjungi. Lantas pantaskah seorang berilmu tinggi menolak datang mengajarkan agama jika audiensinya dinilai tidak semangat? Atau hanya mau berbagi ilmu jika disuguhi kitab? Apa bedanya dengan jualan?
Terakhir penulis ingin sampaikan kepada para kiai dan santri yang merasa tersinggung oleh ujaran Gus Baha’: pertama, wahai kiai, teruskanlah berdakwah sebagai mubalig yang mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman, sebab semua bacaan kitab kalian tidak perlu jor-joran dan buka-bukaan ditunjukkan kepada publik. Kedua, wahai santri, teruskanlah belajar kitab-kitab turats itu tetapi jangan lupa pengembangan intelektual kalian dengan mengikuti temuan-temuan terbaru sains dan teknologi.[]
*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.