Saat peresmiannya, Jakob Oetama berpidato. “Ia mengingatkan agar BBJ tak hanya jadi tempat menyimpan koleksi budaya dan salah satu tempat kegiatan seni dan aktivitas budaya di Jakarta, tetapi juga tempat pelestarian dan pewarisan budaya Indonesia. Jakob Oetama menyadari bahwa saat itu RAK, yang atapnya menjulang tinggi (Joglo Pencu), perlu diselamatkan dan dibangun di perkantoran Kompas Gramedia,” ujar Suhartono, penulis lainnya.
Meskipun sudah hampir 25 tahun, RAK yang diselamatkan Jakob Oetama memang masih tetap ada dan abadi. Setelah RAK berikut gebyoknya diselamatkan, kini gebyok, sebagai bagian dari RAK kembali diselamatkan dalam literatur lewat buku berjudul “Gebyok, Ikon Rumah Jawa”.
Buku yang ditulis Triatmo Doriyanto, Eunike Prasasti dan Suhartono ini sangat relevan dengan pesan yang disampaikan Jakob Oetama saat peresmian BBJ. Hal itu mengingat, belum ada buku yang secara khusus mengulas sejarah, asal usul, dan perkembangan sebuah gebyok, mulai dari gaya, motif, pola, warna, teknik ukir, dan pertukangan hingga pemanfaatannya saat ini.
Bahkan, buku tentang RAK itu sendiri belum pernah ada dan terkodifikasi. Informasi yang ada berupa sejumlah literatur dan referensinya yang tersebar, parsial dan terpisah-pisah dalam bentuk berita, artikel, kajian ilmiah dalam bentuk paper dan makalah akademik.
Selain itu, buku ini juga berisi jenis-jenis gebyok yang berasal dari berbagai daerah di pulau Jawa dan Madura. Keragaman gebyok telah dipengaruhi oleh asal usul tempat gebyok itu berasal, yaitu daerah pesisir atau pedalaman.
Tingkatan sosial masyarakat kaum bangsawan dan masyarakat bawah saat itu, juga ikut mempengaruhi kehalusan dan ekspresiditas dari gebyok itu sendiri hingga mempengaruhi motif, teknik ukir, dan persebarannya. Demikian pula ketersediaan bahan baku kayu yang digunakannya untuk memproduksi gebyok, ikut menentukan sebuah karya ukir gebyok.
Oleh karena itu, kini, gaya dan motif tertentu dari gebyok, tak selalu berasal dari sebuah daerah tertentu, bisa saja dari daerah lain atau dibuat di daerah lain. Misalnya gebyok Kudusan tak selalu berasal dari Kudus, tetapi bisa dibuat dari beberapa daerah di Jawa Timur.
Jika dulu persebaran gebyok karena syiar agama, maka sekarang persebaran gebyok juga atas permintaan pasar atau konsumen, sehingga gaya dan motif gebyok tersebut terus berkembang, tak hanya disebut dari satu daerah saja.
Demikian juga pemanfaatannya di masyarakat. Ada yang digunakan utuh dalam sebuah RAK, tetapi juga parsial, mulai dari pintu gerbang, pelaminan, elemen interior di sebuah bangunan, dan hiasan semata. Inilah keistimewaan lainnya dari sebuah gebyok secara modern sehingga seni gebyok tetap abadi di sepanjang masa.
Penulisan buku ini dilakukan melalui riset dan observasi secara bertahap dan berkelanjutan.
Triatmo adalah insinyur elektro Universitas Indonesia (UI), yang pernah bekerja di Bank Indonesia dan menangani serta menuliskan tentang gedung-gedung lama BI yang dilestarikan sebagai warisan bangsa.
Sedangkan Eunike, istrinya adalah arsitek lulusan Fakultas Teknik UI, juga memiliki pengalaman merevitalisasi sejumlah rumah tradisional Jawa.
Sementara Suhartono, wartawan Harian Kompas, yang menjadi jurnalis di berbagai bidang sejak 1990, hingga sekarang ini.
Peluncuran buku ini dipilih bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2020.
Momentum Hardiknas dipilih bukan tanpa alasan. Buku “Gebyok, Ikon Rumah Jawa" yang dikerjakan dengan riset, kajian, kunjungan dan observasi serta wawancara banyak nara sumber dengan referensi dan literatur yang cukup memadai, diantaranya memang bertujuan sebagai sarana pengetahuan dan pendidikan bagi masyarakat pencinta seni dan gebyok agar warisan bangsa tersebut terus dijaga, dilestarikan, bahkan diperjuangkan agar tetap menjadi warisan budaya Indonesia.