Oleh: Trias Kuncahyono
TRIBUNNEWS.COM - Suatu senja, seorang murid bertanya kepada Guru. “Guru, untuk apa kita berdoa?
Untuk apa kita berpuasa, Guru?”
Dan Guru menjawab: Ingatkah kamu akan nasihat luhur, “Gusti iku cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan,” Tuhan itu dekat meski kita tidak dapat menyentuhnya dan akal kita dapat menjangkaunya.
Dengan kata lain, keberadaan Tuhan itu sangat dekat dengan manusia tapi tidak dapat di sentuh, dan jauh tetapi tidak ada jarak dengan manusia.
Dalam keheningan, dalam doa, dalam berpuasa, dalam pelayanan, dalam iman, dalam cinta pada sesama, dan juga dalam damai, kita akan menemukan-Nya.
Manusia yang sudah bisa mati rogo, mati raga, memperteguh hati dengan menolak segala macam kesenangan diri; menahan hawa nafsu, mengendalikan diri maka akan dikendalikan oleh, ada yang menyebutnya, cahaya ilahiyah, cahaya ilahi.
Kalau sudah demikian, maka segala tindakan mencerminkan sifat Hyang Ilahi: serba pengasih dan penyayang, misericordia—belas-kasih, kerahiman, kerelaan, kemurahan, kedermawanan—terhadap sesama.
Bukankah, manungsa iku kanggonan sipating Pangeran, manusia itu memiliki sifat Tuhan, karena memang manusia diciptakan sebagai citra-Nya.
Mungkin semua itu sulit kau pahami, muridku. Baiklah, akan kujelaskan begini: Secara kejiwaan, berpuasa memurnikan hati orang.
Dengan berpuasa, memudahkan kita berdoa. Puasa juga dapat merupakan korban atau persembahan; mengorbankan kesenangan kita dan kita persembahkan kepada Hyang Agung.
Puasa juga bisa dikatakan sebagai doa dengan tubuh. Mengapa demikian?
Karena dengan berpuasa orang menata hidup dan tingkah laku rohaninya. Dengan berpuasa, orang mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendakNya.
Dengan berpuasa, orang mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat, dengan penuh syukur atas kelimpahan karunia Tuhan.
Dengan berpuasa, orang diharapkan sadar bahwa telah melakukan kesalahan, bahwa telah berbuat yang tidak semestinya, telah berlaku serakah.
Karena itu, dengan berpuasa dan berdoa secara sungguh-sungguh orang lalu dengan sadar meninggalkan keserakahan serta menyesalinya.
Keserakahan bisa berwujud macam-macam: mulai dari korupsi hingga tidak peduli pada orang lain; mulai dari tidak toleran hingga membenci pihak lain yang berbeda, entah berbeda dalam hal agama, maupun suku, ras, etnik, strata sosial, dan sebagainya; mulai dari tidak peduli pada lingkungan hingga penghancuran lingkungan hidup, membabat dan membakar habis hutan-hutan, menggali Bumi habis-habisan untuk menguras isi perutnya, mengotori air dengan segala macam sampah, mengotori udara dengan polusi.
Keserakahan, kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara dan pada semua bentuk kehidupan.
Oleh karena itu bumi, terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Padahal, alam ciptaan sebagai rumah umat manusia. Karena itu, kepedulian terhadap alam sangat penting.
Akibatnya apa kalau alam rusak, padahal alam iki sejatining Guru, alam itu adalah guru sejati? Serat Laodato Si, Terpujilah Engkau mengajarkan kepada kita, “karena kita, ribuan spesies tidak akan lagi memuliakan Allah dengan keberadaan mereka, atau menyampaikan pesan mereka kepada kita. Kita tidak punya hak seperti itu.”
Oleh sebab itu, gerakan keagamaan sangat penting menjadi wadah sosial yang kuat dalam masyarakat. Sebab kepedulian terhadap alam juga merupakan urusan religiusitas.
Termasuk kepedulian terhadap hutan dan ekosistem di dalamnya. Dengan berpuasa, orang menemukan diri yang sebenarnya untuk membangun pribadi yang selaras; selaras dengan alam.
Bukankah, kerusakan alam akan menimbulkan berbagai penyakit dan menghancurkan tidak hanya umat manusia tetapi juga dunia seisinya.
Puasa membebaskan diri dari ketergantungan jasmani dan ketidakseimbangan emosi. Puasa membantu orang untuk mengarahkan diri kepada sesama dan kepada Tuhan.
Kita semua harus sadar, seperti tertuang dalam ajaran luhur natas, nitis, lan netes, dari Tuhan kita ada, bersama Tuhan kita hidup, dan bersatu dengan Tuhan kita kembali.
Diharapkan, dengan berpuasa dan berdoa, kita manusia ingat semua itu; kita sadar akan sangkan paraning dumadi, dari mana kita berasal dan akan ke mana kita akan kembali.” Maka adalah tepat pertanyaanmu: Untuk apa kita berpuasa? Untuk apa kita berdoa?
Kalau pertanyaanmu diajukan kepada kaum sufistik, maka jawabannya adalah puasa merupakan salah satu alternatif riyadhah atau latihan rohani untuk melatih dan mengendalikan hawa nafsu.
Makna puasa di kalangan sufistik bertumpu pada dua hal, yaitu imsak ‘an (menahan diri) dan imsak bi (berpegang teguh pada ajaran Allah dan Rasulullah).
Dengan demikian, pada hakikatnya puasa sesungguhnya adalah menahan diri dari segala godaan syahwat, nafsu dengan selalu berpegang pada ajaran Allah. Karena berpegang pada ajaran Allah, maka puasa adalah cara atau jalan untuk melatih kesabaran dan menahan amarah; melatih untuk berempati kepada sesama; untuk bersyukur; untuk menghindarkan diri dari sifat rakus; melatih kedisiplinan dan tanggung jawab; mengajarkan untuk saling menghormati dan tepo seliro; dan tak kalah penting, puasa mengajarkan untuk lebih banyak berbagi kepada sesama.
Dari kitab-kitab yang kita baca, kita tahu akan pentingnya latihan spiritual, seperti berdoa, dzikir dan puasa.
Sama halnya, iman yang teguh itu dicapai dengan tapa brata, puasa, dan doa berserah pada Hyang Maha Tunggal. Karena itu, berulangkali kukatakan padamu; Ambillah waktu untuk bermenung, ambillah waktu untuk berdoa, ambillah waktu untuk puasa. Itulah sumber kekuatan. Itulah kekuatan terbesar di atas Bumi ini.
Nah, setelah panjang lebar, aku jelaskan padamu, muridku, sudah paham bukan mengapa kita semua umat beragama—apa pun agamanya, tanpa kecuali—perlu berpuasa dan berdoa bersama-sama.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, ketika dunia “dikuasai” oleh pandemi Covid-19, jalan yang terbaik setelah segala cara dan usaha dilakukan untuk mengatasinya, adalah kembali kepada-Nya.
Bukan berarti kita putus asa. Bukan! Doa yang seharusnya adalah minta diberi kekuatan untuk menerima apa saja yang Allah rencanakan dan kehendaki untuk kita.
Bukankah ajaran leluhur jelas mengingatkan kepada kita semua, “Gusti iku sambaten naliko sira lagi nandhang kasangsaran. Pujinen yen sira lagi nampa kanugrahaning Gusti.”
Mohonlah kepada Tuhan jikalau engkau sedang menderita sengsara. Dan lambungkanlah pujian syukur kepada Tuhan jikalau engkau diberi anugerah-Nya.
Kalau kita semua percaya pada-Nya, Hyang Agung, kekuatan puasa dan doa kita semua, seluruh umat beragama akan mampu mengatasi rasa bimbang, rasa takut, rasa khawatir, rasa tercekam, rasa putus-asa, rasa kesepian yang umumnya sekarang dirasakan oleh banyak orang karena pandemi Covid-19.
Pepatah luhur mengatakan, Gusti Allah mboten sare; Allah tidak tidur. Jadi, semua yang dilakukan oleh manusia tidak lepas dari pengamatan yang Maha Kuasa.
Tentu, dalam usaha mengatasi pandemi Covid-19, termasuk doa dan berpuasa yang dijalankan secara sungguh-sungguh sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik, sebagai sarana penguatan batin, sebagai ibadah.
Akhirnya sambil memejamkan mata dan bersedakap, menyilangkan tangan di dada, Guru berkata lirih, “Ketika kamu memanggil Tuhan lewat doa dan puasa, Tuhan akan menjawab. Ketika kamu berteriak minta tolong lewat doa dan puasa, Tuhan akan menjawab: Ini Aku. Maka saat itu, terangmu akan terbit dalam gelap, dan kegelapanmu akan seperti bintang rembang tengah hari.”
“Lanjutkanlah puasa dan doamu, dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga,” kata Guru sebelum masuk ke sanggar pamudyan untuk menemui Sang Aku.
*Trias Kuncahyono: Peneliti Middle East Institute Jakarta dan eks jurnalis senior harian KOMPAS