Saat SARS edisi pertama muncul pada 2002 dan dikenal secara luas pada 2003, saya bersama sahabat dokter, berkolaborasi menulis buku saku tentang virus yang mirip dengan Covid-19 ini.
Tentu saja, saya tidak mendudukkan diri saya sebagai orang yang pakar virus.
Tujuan utama saya adalah ikut menyumbangkan pemikiran, walaupun itu hanya setetes embun di samudra bernama Indonesia.
Kehadiran buku PANDEMIC! karya Slavoj Žižek jelas memberikan sumbangsih yang jauh lebih besar lagi.
Dalam usia 71 tahun, pemikir luar biasa dari Slovenia ini memberikan sinar pemikiran yang terus berpijar.
Salah satu ‘saran’ yang dia lontarkan, dengan bahasa sederhana adalah menerapkan pola komunis modern.
Jangan alergi dulu dengan kata komunis yang dipakai di sini. Maknanya bisa kita cerna dengan ilustrasi berikut.
Seorang nahkoda yang terkenal lembut, penyabar dan penuh kasih ini tiba-tiba mengeluarkan pistolnya, mengacungkannya dan membentak ABK: Tiarap atau saya tembak!
Meskipun kaget dengan ucapan dan tindakan pemimpinnya yang tidak biasa itu, mereka patuh.
Pada saat itulah mereka terhindar dari maut. Ternyata tiang kapal patah dan ada kawat baja yang menyambar geladak.
Seandainya mereka terlambat satu detik saja, nyawa mereka bisa melayang.
Slavoj Žižek sadar betul kegawat-daruratan dunia sehingga di awal bukunya menulis ‘Noli Me Tangere’ yang mengambil peristiwa saat Yesus bangkit dan berkata kepada Maria Magdalena: “Janganlah engkau memegang Aku."
Versi King James lebih tegas lagi, Touch me not. Meski selama PSBB kita diminta untuk jaga jarak, masih banyak masyarakat yang bandel.
Di sikon yang sungguh mengkhawatirkan seperti saat ini, peran keras dan tegas dari yang di atas sangat diperlukan.
Mengapa? Karena keputusan apa pun yang diambil, tetap salah dan disalahkan.
Lemah dianggap plonga-plongo dan plin-plan.
Kalau tegas? Bisa dianggap otoriter.
Dalam sikon genting seperti ini, tampaknya tidak ada pilihan lain. Kendor atau di-dor.
Terbukti di negara-negara yang tegas dan keras menegakkan disiplin (baca = RRT), kurva penurunan orang yang terjangkit turun drastis.
Sebaliknya di negara yang ambigu dan ragu-ragu, kurva pandemik ini justru semakin naik.
Dengan jumlah korban yang sudah demikian besar, rekan-rekan dokter mengatakan bahwa kurvanya belum mencapai titik puncak.
Dari kajian yang tidak remeh temeh inilah jangan ada di antara kita yang menganggap pemikiran Slavoj Žižek remah-remah belaka.
Apalagi yang alergi terhadap filsul sehingga berkata, “Filsafat tidak mampu membuat roti”, sindiran yang justru menjauhkan kita dari persoalan yang sesungguhnya.
Apalagi orang-orang yang dengan sinis berpendapat, “Peraturan itu dibuat untuk dilanggar."
Jangan sampai kita diejek sebagai generasi +62 yang tidak tahu apa-apa tetapi sok tahu. (*)