News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Trisila, Ekasila, Quo Vadis Pancasila?

Editor: Hendra Gunawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr Anwar Budiman SH MH: Advokat/Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

Oleh: Dr Anwar Budiman SH MH *) 

TRIBUNNEWS.COM - Ada yang coba mengutak-atik Pancasila menjadi Trisila dan akhirnya Ekasila: Gotong-royong!

Quo vadis (mau dibawa ke mana) Pancasila?

Pertanyaan ini perlu dilontarkan kepada wakil-wakil rakyat di Senayan, dan juga kepada pemerintah yang sedang bersiap untuk membahas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Pada 12 Mei 2020 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan RUU HIP ini sebagai usul inisiatif mereka.

RUU ini segera dibahas bersama pemerintah untuk kemudian disahkan menjadi undang-undang.

Namun, suara-suara penolakan ramai digaungkan atas RUU yang dikhawatirkan akan membangkitkan komunisme ini.

Apa saja indikasi kebangkitan komunisme tersebut? Pertama, Ketetapan MPRS No XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi PKI, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme, tidak dijadikan konsideran atau rujukan dalam penyusunan RUU HIP ini.

Baca: Update Kasus COVID-19 Ambon, Pasien Positif 299 Orang, 79 Sembuh, 8 Meninggal

Baca: BREAKING NEWS, Jerry Lawalata Ditetapkan Sebagai Tersangka Penyalahgunaan Narkoba

Baca: 35 Buruh Pabrik Tangerang Dikabarkan Disekap karena Alasan Covid-19, Begini Faktanya

Kedua, ada dugaan "pemerasan" sila-sila dalam Pancasila menjadi Trisila (tiga sila) bahkan akhirnya Ekasila (satu sila), yakni gotong-royong yang sering dikonotasikan dengan paham dan ideologi sosialisme dan komunisme.

Ketiga, RUU HIP akan menimbulkan kerancuan dalam sistem ketatanegaraan kita.

Bagaimana bisa Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang keberadaannya termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 diatur di dalam UU? Ini dapat mendegradasi eksistensi Pancasila.

Lalu, apa itu Trisila? Ialah Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan
Ketuhanan yang Berkebudayaan. Adapun Ekasila adalah Gotong-royong.

Dugaan "pemerasan" Pancasila menjadi Trisila bahkan Ekasila ini berpotensi melanggar Pancasila.

Sebab, Pancasila merupakan "state fundamental norm" atau norma dasar negara.

Bila kita bicara Pancasila, maka sila pertama dan utama dari Pancasila adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Dengan adanya sila pertama inilah Indonesia benar-benar menjadi berbeda dengan negara-negara lain di dunia.

Di negeri kita ini segala sesuatu yang menyangkut nilai-nilai kemanusiaan, persatuan dan kesatuan serta demokrasi dan keadilan sosial, semua harus dijiwai oleh sila pertama Pancasila.

Pancasila melindungi hak asasi manusia (HAM), termasuk hak memeluk agama. Sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa" mewujud bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama, di mana agama juga memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai makhluk Tuhan.

Memeluk agama dan menganut kepercayaan adalah wujud pengakuan adanya Tuhan, sebagaimana termaktub di dalam sila pertama Pancasila, dan hal itu diakui sebagai kemerdekaan tiap-tiap penduduk, pengakuan mana kemudian tertuang di dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Dalam RUU HIP, ada indikasi prinsip-prinsip tersebut hendak dikesampingkan atau bahkan dihilangkan, sehingga begitu RUU ini kelak disahkan menjadi UU maka negeri ini akan berubah dari negara yang menghormati dan menjunjung tinggi agama menjadi negara sekuler yang tidak lagi membawa-bawa agama dan Tuhan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Maka, suara-suara penolakan pun digaungkan. Penolakan itu datang dari antara lain para purnawirawan TNI/Polri, dan teranyar dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Maklumat Pimpinan Pusat MUI No Kep-1240/DM-MUI/VI/2020 tertanggal 12 Juni 2020.

Para purnawirawan yang antara lain diwakili Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden RI dan mantan Panglima ABRI, serta Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Saiful Sulun menilai RUU HIP akan menimbulkan "over lapping" atau tumpang- tindih serta kekacauan dalam sistem ketatanegaraan maupun pemerintahan di Indonesia.

Memang, bila ideologi Pancasila sebagai landasan pembentukan UUD kemudian diatur di dalam undang-undang maka itu adalah sebuah kekeliruan.

Adapun penolakan MUI disuarakan karena RUU HIP telah mendistorsi substansi dan makna nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya.

Menurut MUI, Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya telah memadai sebagai tafsir dan penjabaran paling otoritatif dari Pancasila. Adanya tafsir baru dalam bentuk RUU HIP justru akan mendegradasi eksistensi Pancasila.

MUI berpandangan RUU HIP akan "memeras" Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yakni gotong royong, yang nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila.

Hal itu secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan sila pertama Pancasila, yakni "Ketuhanan Yang Maha Esa", yang telah dikukuhkan para founding fathers kita dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945.

RUU HIP juga menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal ini adalah bentuk pengingkaran terhadap keberadaan Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya sebagai dasar negara sehingga bermakna pula sebagai pembubaran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan pada lima sila dalam Pancasila tersebut.

Para purnawirawan TNI/Polri adalah representasi generasi pejuang yang masih memegang erat nasionalisme.

MUI adalah representasi dari para ulama yang religius dan banyak pengikutnya di masyarakat. Para ulama dulu juga berada di garda terdepan dalam perjuangan mengusir penjajah.

Kini, bila kaum nasionalis dan religius sudah bersuara sama menolak RUU HIP, lalu apakah eksekutif dan legislatif akan tetap nekad?

Sejatinya hendak dibawa ke mana Pancasila dan NKRI ini, dengan RUU HIP yang berpotensi melanggar Pancasila dan Tap MPRS No XXV/1966 itu?

Bila DPR RI dan pemerintah tetap keukeuh, jangan salahkan bila ada yang berpandangan ada yang hendak mengaburkan fakta sejarah, terutama pengkhianatan terhadap Pancasilan dan UUD 1945.

Cermati pula "ultimatum" MUI bahwa jika maklumatnya diabaikan oleh pemerintah maka segenap Pimpinan MUI Pusat dan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia mengimbau umat Islam Indonesia agar bangkit bersatu dengan segenap upaya konstitusional untuk menjadi garda terdepan dalam menolak paham komunisme, demi terjaga dan terkawalnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,

Jika hal tersebut tak diindahkan, maka potensi konflik vertikal dan konflik horisontal sudah membayang di depan mata.

Bila sudah demikian, siapa yang akan rugi? Tentu kita semua, segenap bangsa Indonesia.

Alhasil, hentikan pembahasan RUU HIP bahkan didrop dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024 bila tidak mencantumkan Tap MPRS No XXV/1966 dalam konsiderannya.

Jangan habiskan energi bangsa ini untuk hal-hal yang kontraproduktif, apalagi energi bangsa ini sudah terkuras untuk menghadapi pandemi Covid-19.

*) Dr Anwar Budiman SH MH: Advokat/Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini