Oleh: Dr Sumaryoto Padmodiningrat MM
TRIBUNNEWS.COM - Entah apa yang berkecamuk dalam benak Presiden Joko Widodo sehingga mengizinkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai calon walikota Surakarta, Jawa Tengah, dan menantunya, Bobby Nasution, sebagai calon walikota Medan, Sumatera Utara.
Mungkin Jokowi berpikir: senyampang masih berkuasa, kalau tidak sekarang kapan lagi?
Jurus "aji mumpung" pun dilancarkan.
Jokowi tampaknya terjebak adagium Nicollo Machiavelli (1469-1527) yang menyatakan, "Kekuasaan harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah."
Sebenarnya, politik kekerabatan, yang kemudian lebih dikenal dengan istilah politik dinasti, adalah hal lumrah.
Sebab, pilitik adalah seni memanfaatkan momentum. Ketika momentum tiba, namun tidak dimanfaatkan, maka akan hilang dan tak akan berulang.
Baca: Survei Litbang Kompas: 67,9% Responden Usia 17-30 Tahun Menolak Praktik Politik Dinasti
Publik pun tak terlalu mempersoalkan politik dinasti, yang penting adalah kemampuan kandidat. Yang menjadi persoalan kemudian adalah etika atau fatsoen politik.
Litbang Kompas telah merilis hasil survei terbaru tentang praktik politik dinasti atau politik kekerabatan.
Hasilnya, 69,1 persen responden menyatakan akan memilih calon kepala daerah karena kemampuannya, tanpa peduli dia memiliki hubungan kekerabatan atau tidak dengan pejabat publik.
Survei dilakukan pada 27-29 Juli 2020. Ada 553 responden yang diwawancara dari 145 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia.
Politik dinasti adalah fakta. Di ranah eksekutif,berdasarkan data Nagara Institute, ada 80 wilayah di Indonesia terpapar politik dinasti.
Dalam tiga kali pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 541 wilayah (33 provinsi, 419 kabupaten, dan 89 kota), ada 80 wilayah (14,78%) yang terpapar politik dinasti.
Jawa Timur merupakan daerah terbanyak yang menjalankan politik dinasti, yaitu di 14 wilayah.