News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pilkada Serentak 2020

Politik Dinasti, Jurus Aji Mumpung Jokowi?

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM

Diikuti Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan dengan masing-masing 6 wilayah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Banten berada di urutan ketiga dengan 5 wilayah. Lalu, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, dan Lampung dengan masing-masing 4 wilayah.

Di ranah legislatif, dinasti politik meningkat pada Pemilu 2019. Premis ini terkonfirmasi oleh riset Nagara Institute yang menyebut sekitar 17,22 persen anggota DPR RI periode 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti, sebab memiliki hubungan dengan pejabat publik, baik hubungan darah, pernikahan, maupun kombinasi keduanya.

Total 178 kasus keterpilihan anggota DPR RI dinasti politik dalam Pemilu 2009, 2014, dan 2019.

Jika diklasifikasi berdasarkan partai politik, terdapat tujuh partai yang paling banyak menerapkan politik dinasti di level legislatif nasional.

Di urutan pertama adalah Partai Nasdem yang meloloskan 20 orang berdasarkan politik dinasti dari total 59 perolehan atau 33,90 persen anggota lolos ke Senayan.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menempati urutan kedua, yaitu sebesar 31,58 persen dari total kursi DPR RI.

Kemudian secara berturut-turut Partai Golkar sebesar 21,18 persen, Partai Demokrat 18,52 persen, Partai Amanat Nasional (PAN) 18,18 persen, Partai Gerindra 16,67 persen, dan PDI Perjuangan 13,28 persen.

Sementara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi partai yang menempatkan dinasti politik di bawah 10 persen.

PKB memiliki persentase paling kecil terpapar politik dinasti, yaitu 5,17 persen dari total perolehan 58 kursi. Sedangkan PKS sebesar 8,0 persen dari total 50 kursi di DPR RI.

Mengapa politik dinasti tumbuh subur di Indonesia? Pertama, pemilu legislatif yang menganut sistem proporsional terbuka. Kedua, sistem pemilihan langsung "one man one vote" dalam pilkada.

Kedua sistem tersebut memunculkan "high cost politics" (politik berbiaya tinggi), baik untuk ongkos politik seperti kampanye dan pasang atribut, maupun "money politics" atau politik uang untuk "serangan fajar" dan uang mahar pengurus parpol.

Sistem yang cenderung liberal ini melahirkan hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang, selaras dengan adagium dari Titus Maccius Plautus dalam karyanya berjudul "Asinaria" (195 SM), dan Thomas Hobbes dalam karyanya berjudul "De Cive" (1651), yakni, "homo homini lupus" (manusia adalah serigala bagi manusia lain).

Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 8 Juli 2015 yang secara tak langsung melegalkan dinasti politik.

MK saat itu membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang (UU) No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, yang mensyaratkan calon kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota) tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini