Lantas, mengapa kini politik dinasti dipersoalkan kembali? Tak lain dan tak bukan karena faktor Jokowi sendiri. Ibaratnya,senjata makan tuan.
Jokowi adalah politisi dan pemimpin yang mengawali karier dari bawah, bukan politisi dan pemimpin karbitan yang berasal dari elite lingkaran kekuasaan, baik di pemerintahan maupun di parpol.
Bermula dari tukang kayu, pengusaha mebel, Walikota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, hingga kini Presiden RI. Jokowi bukan pengurus parpol atau anak pengurus parpol. Jokowi bukan anak pejabat. Jokowi bukan siapa-siapa.
Ketika Jokowi berhasil menembus belantara kekuasaan di tingkat nasional, bahkan menjadi orang nomor satu di Indonesia, publik terkesima. Harapan publik pun membuncah: Jokowi anti-politik dinasti!
Namun, kini harapan itu tinggal harapan. Jokowi sudah terjebak dalam politik dinasti, dan tampaknya tak ada titik untuk kembali.
Padahal, politik dinasti akan menumbuhsuburkan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), menyumbat siskulasi kepemimpinan, dan memasung demokrasi yang sehat.
Jokowi ternyata tak berbeda dengan politisi-politisi lain seperti sang mentor, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Juga tak beda dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, Yasin Limpo, Syaukani Hasan Rais, Ratu Atut Chosiyah, Fuad Amin Imron, dan sebagainya.
Dalam Pilkada 2020, selain Jokowi, Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin juga merestui putrinya, Siti Nur Azizah menjadi calon walikota Tangerang Selatan, Banten.
Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga mengizinkan putranya, Hanindhito Himawan Pramana sebagai calon bupati Kediri, Jawa Timur.
Juga Rahayu Saraswati, keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang maju sebagai calon walikota Tangsel, bertarung dengan Nur Azizah.
Di luar Jawa, sejumlah kepala daerah juga menyokong sanak-familinya bertarung dalam Pilkada 2020. Bila menang, mereka bakal menambah panjang daftar 117 kepala dan wakil kepala daerah dari dinasti politik dalam lima tahun terakhir.
"Ngono ya ojo ngono". Mungkin ada baiknya bila Presiden Jokowi mempertimbangkan “saran” Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873), pujangga terakhir Kasunanan Surakarta, tentang "aji mumpung" dalam "serat" Sabdatama "pupuh" Gambuh bait ke-4 dan ke-5 berikut ini:
Beda kang ngaji mumpung
Nir waspada rubedane tutut
Kakinthilan manggon anggung atut wuri
Tyas riwut ruwet dahuru
Korup sinerung anggoroh
Ilang budayanipun
Tanpa bayu weyane ngalumpuk
Sakciptane wardaya ambebayani
Ubayane nora payu
Kari ketaman pakewoh