Revisi RUU MK kali ini tetap elitis disaat MK terbelit segudang masalah yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu.
Namun RUU MK ini sekali lagi menghindarkan diri dari penyelesai masalah sekaligus menjauhkan diri dari optimalisasi akses keadilan bagi rakyat di lembaga keramat.
Revisi terhadap sebuah produk hukum memang keniscayaan namun harus memperhatikan 2 (dua) hal utama, yakni materi dan prosedur.
Revisi harus didukung dengan materi yang berbobot, membawa perubahan serta kemajuan, dan menyelesaikan masalah di masa lalu dengan sebuah solusi.
Revisi juga harus dilaksanakan dengan prosedur yang benar sesuai peraturan perundang-undangan, memahami skala prioritas dan membuka partisipasi pada semua lini.
Apabila revisi ditopang dengan 2 (dua) hal ini maka produk hukum dan MK akan mendapat legitimasi kuat. Sayangnya RUU MK ini nihil dari 2 (dua) hal tersebut.
Jika RUU ini tetap dipertahankan maka lonceng kematian demokrasi segera berbunyi karena kuasa legislasi patuh dengan instruksi oligarki yang sembunyi dari permukaan publik.
Melihat perjalanan penyusunan RUU MK yang super kilat dan penuh akrobat, tak ada alasan untuk menerima RUU ini.
Para pembentuk Undang-Undang harus menghentikan proses jalannya RUU MK ini.
Jika ingin melakukan revisi, partisipasi masyarakat dan akademisi sangat diperlukan untuk memperbaiki materi muatan UU MK yang dimulai dari membentuk pola rerkutmen hakim yang menghasilkan hakim yang negarawan berintegritas, penguatan kewenangan MK, hingga menyelesaikan segudang masalah hukum acara MK.
Nagara Institute merekomendasikan pembentukan Hukum Acara MK secara tersendiri
dalam UU MK, yang saat ini masih bercampur aduk antara Hukum Acara dengan keorganisasian MK.
Seluruh peraturan pelaksana di MK dapat dikodifikasi dalam satu UU dimana hal ini akan memudahkan masyarakat mengakses/melaksanakan aturan-aturan dalam hukum acara yang telah terintegrasi.
Nagara Institute juga merekomendasikan pelibatan MPR menjadi ‘pihak terkait’ dalam
persidangan MK meskipun semata bersikap masukan.
MPR perlu mengambil peran menjadi pihak terkait untuk menjelaskan maksud, sejarah, dan tafsir kontemporer dari pasal UUD 1945 yang menjadi batu uji dalam judicial review di MK.