Oleh: Anwar Hudijono*
“Saya di Universitas Muhammadiyah Malang ini merasa at home,” kata Pak Jakob Oetama.
Pak Jakob menyampaikan itu kepada saya dalam perjalanan semobil saat hendak meninggalkan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Salah satu yang membuat beliau kagum dengan UMM, bukan hanya kampusnya yang megah dan eksotik, tapi sistem nilai yang hidup di UMM.
Antara lain, nilai kejuangan, kerja keras dan ikhlas. Para pendirinya tidak menjadikan kampus sebagai aset pribadi dan warisan keturunannya.
Ungkapan beliau yang tulus ini menjadi titik hubungan batin yang kuat dan mendalam antara Pak Jakob dengan Muhammadiyah.
Pada hari Selasa (8/9/2020) saya menulis artikel berjudul, Malik Fadjar, Sumur Tanpa Dasar Taman Laut Tanpa Tepi.
Tulisan ini dimuat di belasan media on line. Di media PWMU.co judulnya diganti, Malik Fadjar, Politisi Tanpa Partai: Berpolitik di Atas Medan Partai.
Tulisan itu saya dedikasikan atas wafatnya Bapak Prof Abdul Malik Fadjar MSc, mantan Mendiknas dan Menteri Agama, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), pada Senin (7/9/2020).
Di dalam tulisan saya ini antara lain saya menulis hubungan yang sangat baik antara Pak Malik dengan Pak Jakob.
Berikut ini saya cuplikkan sebagian tulisan itu:
Saya berpandangan Pak Malik itu laksana mutiara yang masih tertimbun lumpur. Sebagai wartawan saya memiliki peluang untuk mengangkat mutiara tersebut. Eman-eman jika cahaya mutiara itu tetap terpendam.
Lantas saya coba melalui Kompas. Seingat saya, pemikiran Pak Malik yang saya angkat pertama kali di Kompas adalah tentang bangsa ini terjebak pada formalisme kosong.
Pemikiran ini sebenarnya berisi keprihatinan yang mendalam atas kesalahan arah pembangunan. Sekaligus kritik yang sangat keras.
Suatu yang sangat penuh risiko di masa Orde Baru. Pak Malik bukan tidak menyadari risiko itu. Tapi bagi beliau, risiko adalah bagian dari perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar.
Di mana pemerintah lebih mementingkan formalitas seperti angka pertumbuhan ekonomi, konsep trickle down effect (tetesan ke bawah) tapi lekang pada substansi amanat pendiri bangsa yaitu keadilan, kemakmuran yang merata.
Pemerintah bertindak otoritarian, mengabaikan demokrasi.
Dalam beragama pun banyak yang mementingkan formalitas beragama daripada menjadikan nilai-nilai agama dalam gerakan kehidupan sehari-hari.
Agama sekadarmenjadi amalan ritual, tidak diimplemantasikan dalam kehidupan sehari sebagai panduan tugas khalifah di atas bumi.
Saya tidak mengira jika tulisan saya dimuat di bawah headline halaman 1 (utama). Padahal untuk sosok baru muncul di Kompas itu sangat sulit.
Selanjutnya setiap saya nulis beliau, selalu dimuat. Bahkan hampir selalu di halaman satu.
Pemimpin Redaksi Kompas Pak Jakob Oetama memberikan perhatian khusus. Pak Jakob menilai, Pak Malik adalah salah satu tokoh pembaruan Indonesia seiring dengan Cak Nur, Gus Dur.
Kedua tokoh ini sahabat beliau. Di Muktamar NU Situbondo tahun 1984, Pak Malik dan Cak Nur memberikan suport kepada Gus Dur sampa Muktamar selesai.
Akhirnya Pak Jakob dengan Pak Malik menjadi sahabat yang baik. Beberapa kali Pak Jakob berkunjung ke UMM.
Bahkan namanya dibadikan di salah satu ruangan Perpustakaan UMM dengan Jakob Oetama Corner. Lantaran keakraban mereka pula Pak Jakob diundang menjadi narasumber di Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali. Ini juga peristiwa yang sangat langka.
SAHABAT KARIB
Saya tertegun ketika menyimak pernyataan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, Rabu (9/9).
“Dua hari ini bangsa Indonesia kehilangan tokoh pemaju pendidikan dan kebudayaan yang tak tergantikan yaitu Prof Malik Fadjar dan Pak Jakob Oetama. Pak Malik wafat kemarin lusa 7 September, Pak Jakob tanggal 9. Berdua seperti telah janjian. Kebetulan almarhum berdua bersahabat karib. Kebetulan juga saya sangat dekat Pak Malik dan dekat dengan Pak Jakob karena Pak Malik,” kata Muhadjir.
Pak Muhadjir menggantikan Pak Malik menjadi rektor UMM setelah beberapa periode menjadi Pembantu Rektor III.
Pada waktu jadi rektor, Muhadjir berniat membuat patung setengah dada Pak Jakob untuk ditempatkan di ruang Jakob Oetama Corner di Perpustakaan UMM.
Jakob Oetama Corner itu berisi buku-buku koleksi Pak Jakob untuk UMM, termasuk buku terbitan Kompas-Gramedia. Secara periodik Pak Jakob menambah bukunya.
Pak Muhadjir mengutus saya untuk menyampaikan niatnya itu ke Pak Jakob.
“Minta tolong disampaikan ke Pak Rektor, saya berterima kasih atas penghargaan itu. Tapi mohon maaf patung itu sebaiknya tidak usah ya, Mas,” kata Pak Jakob.
Saya ingat betul beliau menyampaikan dengan nada rendah menahan haru.
Sehari setelah Pak Muhadjir diangkat jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) oleh Presiden Jokowi, saya diutus sowan ke Pak Jakob untuk menyampaikan informasi itu.
Sebenarnya Pak Muhadjir ingin secepatnya menyampaikan langsung, tapi mengingat kesibukannya sulit direalisasi dalam waktu dekat. Itulah pertimbangannya mengutus saya, sekaligus meminta waktu untuk sowan.
PLANET MATAHARI
Hubungan Pak Jakob dengan Pak Malik yang begitu cepat menjadi persahabatan karib dan baik, saya kira karena banyak nisbah (titik temu).
Sebagaimana disampaikan Pak Muhadjir, keduanya memiliki komitmen terhadap pemajuan pendidikan dan kebudayaan.
Pak Jakob dan Pak Malik memiliki basis pendidikan yang sama yaitu guru. Sebelum jadi wartawan, kemudian mendirikan Kompas-Gramedia, Pak Jakob adalah seorang guru. Dan jiwa guru ini tidak pernah luntur.
Pak Malik juga mengawali kiprahnya menjadi guru SMEA Nusa Tenggara Barat (NTB), sebelum akhirnya menjadi Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, menjadi Rektor UMM, dan sempat merangkap Rektor Universitas Muhammadiyah Solo untuk menyelamatkan kampus itu.
Menjadi Dirjen Binbaga Kemenag, Menteri Agama jaman Presiden Habibie dan Mendiknas jaman Presiden Megawati. Terakhir menjadi anggota Wantimpres 2015-2020.
Keduanya memiliki concern yang kuat terhadap kemanusiaan, ke-Indonesiaan-an dan kebangsaan. Sama-sama memiliki keprihatinan yang kuat terhadap masyarakat.
Bersikap moderat dan menjunjung tinggi pluralitas kehidupan. Sama-sama berada di lajur tata sikap yang moderat dan inklusif.
Keduanya sama-sama berlatar belakang kultur Jawa yang kuat. Pak Jakob lahir di Borobudur dan kemudian besar di Jogja, Pak Malik lahir di Jogja dan sempat dibesarkan di Magelang mengikuti ayahnya, seorang guru pejuang Muhammadiyah.
Hubungan akrab Pak Jakob dengan Pak Malik ini saya kira menjadi semacam entry point hubungan yang luas dan mendalam Pak Jakob dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya seperti Buya Syafi’i Ma’arif.
Diikuti tokoh-tokoh muda seperti Habib Chirzin, Ahmad Sobari, Muslim Abdurrahman, Rizal Sukma.
Keakraban dengan tokoh-tokoh itu menjadikan pemahaman Pak Jakob tentang Muhammadiyah lebih mendalam dan menyeluruh.
Ibaratnya, melihat matahari langsung pada planetnya, bukan pada sinar dan permukaannya. Semua itu memperkuat kekaguman, apresiasi beliau terhadap Muhammadiyah. Rabbi a’lam.
Sugeng tindak, Pak Jakob. Mugi-mugi Gusti Allah paring welas-asih.
*Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo