Ulah sebagai penguasa diktator di suatu negara demokrasi akan selalu dikenang oleh rakyatnya sebagai penjahat dan perompak harta negara, namun tindakan ingin mengubah ideologi negara juga tidak boleh dibiarkan.
Kaum kiri (komunisme) dan kanan (Islam) semuanya telah gagal mengganti ideologi negara Pancasila dan dapat diremuk-redamkan oleh pemerintah dan rakyat.
Tapi merawat kebencian terhadap kelompok tertentu apakah kaum kiri atau kanan yang tidak terlibat dalam peristiwa itu juga tidak dapat dibenarkan oleh konstitusi negara.
Nonbar di Tengah Pandemi
Film G30S/PKI harus dipandang sebagai bagian dari propaganda politik rezim Orde Baru, bertujuan mempertahankan kekuasaan, memelihara hegemoni militer dan merawat rasa takut masyarakat sehingga dapat dikapitalisasi menjadi sokongan politik kuat terhadap figur sentral yang dianggap berjasa mengatasinya.
Naskah awalnya sendiri dibuat Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh yang kemudian menjadi pejabat negara di kemudian hari dan direkrut Soeharto.
Tajuk naskahnya berjudul “Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia” dan menjadi acuan utama dalam pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara kawakan Indonesia, Arifin C. Noer dan dirilis pertama kalinya 1984 dengan durasi waktu 271 menit.
Jajang C Noer (istri Arifin) dalam suatu wawancara televisi nasional mengakui film tersebut memang pesanan dari penguasa saat itu. Namun dalam penggarapannya Arifin melakukannya dengan mandiri tanpa ditekan-tekan si pemesan.
KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang diinisiasi pembentukannya oleh beberapa tokoh nasional berencana akan menggelar nonton bareng film G30S/PKI dibeberapa tempat seperti yang dilakukan Gatot Nurmantyo saat masih menjabat Panglima TNI.
Sebenarnya, menonton film itu kapan dan di mana saja boleh. Setiap saat film tersebut dapat diakses di platform sosial kanal YouTube.
Lima kali sehari nonton juga tidak masalah. Hitung-hitung menjadi pengusir rasa jenuh di tengah pandemi dan berdiam tetap di rumah.
Nonton bareng (nobar) juga tidak masalah asal bareng-bareng nonton di rumah masing-masing agar tidak saling menjangkiti virus korona (Covid-19) yang sedang melanda Indonesia saat ini.
Sebagai penonton pun harus cerdas memilih tontonan yang berkualitas: kualitas naskahnya, objektivitas kesejarahannya, alur ceritanya dan kualitas acting para pemainnya.
Menonton secara radikal film propaganda politik sama halnya dengan menjadi bagian dari rezim kelam masa lalu, merawat kebencian dan penindasan berpikir objektif tertahap sesama anak bangsa.