News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Simalakama yang Memakan "Tumbal"

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sumaryoto Padmodiningrat.

Oleh: Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM

TRIBUNNEWS.COM - Bak menghadapi buah simalakama. Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati.

Itulah situasi dan kondisi yang dihadapi Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana dan Kapolda Jawa Barat Irjen Rudi Sufahriadi.

Akibatnya, mereka menjadi "tumbal" atau korban, dicopot dari jabatan.

Tidak itu saja. Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Heru Novianto dan Kapolres Bogor Roland Rolandy juga menjadi "tumbal".

Keempatnya dicopot karena dinilai gagal menegakkan Protokol Kesehatan (Prokes) Covid-19 di wilayah masing-masing.

Meski tak disebut secara gamblang, namun pencopotan ini diduga terkait safari ceramah Habib Rizieq Syihab (HRS) yang mengundang kerumunan massa di Tebet, Jakarta Selatan, dan Megamendung, Bogor, Jawa Barat, Jumat (13/11/2020), serta Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (14/11/2020).

Baca juga: 21 Pejabat Polri Diberhentikan dan Dimutasi Jabatan Baru, Kapolda Metro Jaya dan Jabar Dicopot

Sebelumnya, massa juga berkerumun di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (10/11/2020), saat penyambutan kedatangan HRS dari Arab Saudi.

Pencopotan dua perwira tinggi dan dua perwira menengah Polri ini berdasarkan Surat Telegram Rahasia (STR) Kapolri Nomor: 3222/XI/Kep/2020 tertanggal 16 November 2020.

STR ini tentang pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan Polri.

Siapa menyusul? Kapolda Banten mungkin sedang ketar-ketir dan menghitung hari. Begitu pun Kapolres Jakarta Selatan.

Apalagi di Banten, kerumunan massa lebih parah, sampai-sampai sempat melumpuhkan bandara beberapa jam. Banyak pula mobil parkir di jalan tol.

Bersamaan dengan pencopotan, Kapolri Jenderal Idham Azis memerintahkan seluruh Kapolda untuk memperhatikan penerapan Prokes Covid-19 di wilayah masing-masing. Jika ada pelanggar, Kapolri meminta untuk ditindak tegas.

Hal tersebut tertuang dalam Surat Telegram Kapolri Nomor S/3220/XI/KES 7/2020 tertanggal 16 November 2020.

Sebelumnya, Kapolri sudah menerbitkan Maklumat Nomor Mak/2/III/2020 untuk menegakkan Prokes Covid-19.

Entah apa yang berkecamuk dalam benak para perwira polisi itu sebelum dicopot. Yang pasti, mereka menghadapi dilema.

Bila pelanggar protokol yang berasal dari ormas Islam itu ditindak tegas, maka akan memunculkan isu sensitif, misalmya memusuhi umat Islam atau bahkan melakukan kriminalisasi ulama.

Sedangkan bila tidak ditindak, maka akan mendapatkan sanksi dari atasan. Jabatan taruhannya. Terbukti kemudian mereka benar-benar mendapat sanksi, yakni dicopot dari jabatan.

Mungkin para pelanggar prokes itu saat ini sedang tertawa. Mereka telah berhasil mengerjai bahkan mengadu domba polisi.

Tidak hanya itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan HRS juga dipanggil Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri untuk diperiksa terkait dugaan pelanggaran Prokes Covid-19 dalam acara di kediaman HRS. Akankah Anies juga menjadi "tumbal"? Kementerian Dalam Negeri sedang menunggu hasil pemeriksaan Anies oleh Bareskrim untuk menentukan sanksi.

Ketika kemudian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjatuhkan sanksi denda Rp 50 juta kepada HRS, mungkin dianggap enteng saja.

Sebenarnya, subsastansinya bukan denda itu, tapi bukti pelanggaran. Apa pun ceritanya, HRS telah terbukti melanggar Prokes Covid-19.

Anies Baswedan pun harus bertanggung jawab atas pelanggaran Prokes Covid-19 di wilayahnya. Ia telah gagal melakukan tindakan preventif, sehingga yang kemudian dilakukan adalah tindakan kuratif.

Namun bukan Anies namanya kalau tidak lihai berkelit. Beralibi. Berapologia. Bahkan ia membandingkan kerumunan pada acara HRS itu dengan kerumunan massa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang akan digelar serentak pada 19 Desember 2020.

Hanya berbekal selembar surat, Anies mengklaim telah memperingatkan HRS untuk mematuhi Prokes Covid-19. Tak ada Satpol PP yang diturunkan untuk mencegah kerumunan. Apa yang dilakukan Anies sebatas "lip service".

Mungkin bila dikatakan dasar dari Pilkada 2020 itu konstitusi dan undang-undang, mereka akan berdalih ceramah agama itu dasarnya kitab suci, sehingga lebih tinggi dari undang-undang dan konstitusi. Di sini kadang kita merasa sedih.

Kapolda Metro Jaya yang baru, Irjen Fadil Imran, kini duduk di kursi panas. Mungkin ia akan menghadapi dilema yang sama dengan Nana Sudjana.

Pasalnya, Alumni 212 ngotot hendak menggelar reuni di Monas, 2 Desember nanti. Memang Pemprov DKI sudah mengirim sinyal tak mengizinkan.

Tapi berkaca dari preseden buruk yang terjadi di Petamburan, mereka akan lebih memilih bayar denda daripada harus membatalkan acara. Toh tidak mahal-mahal amat, hanya Rp 100 juta atau dua kali lipat dari denda di Petamburan, sebagai denda progresif.

Akankah Irjen Fadil Imran menjadi tumbal berikutnya? Biarlah waktu yang menjawab.

Namun apa pun ceritanya, pencopotan Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat merupakan kode keras bagi seluruh Kapolda di Indonesia. Mereka harus pandai-pandai menyiasati simalakama.

* Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM, Anggota DPR RI Periode 1999-2004, 2004-2009 dan 2009-2014.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini