News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Mbak Ning dan Hujan Salah Musim

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR RI Ribka Tjiptaning. Foto: Oji/od

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Ceplas-ceplos, blak-blakan, terus-terang, apa adanya. Itulah katakteristik Ribka Tjiptaning Proletariyati (63).

Maka ketika buku biografinya, "Aku Bangga Menjadi Anak PKI" (2002) menuai kontroversi, ia tak peduli.

Kini, ia bikin "ulah" lagi. Dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Selasa (12/1), anggota Komisi Kesehatan DPR yang menyebut dirinya Mbak Ning itu menolak vaksinasi Covid-19 yang mulai Rabu (13/1) dilaksanakan pemerintah.

Presiden Jokowi adalah orang pertama yang menerima suntikan vaksin merek Sinovac itu.

Mbak Ning berdalih, vaksin Sinovac yang diimpor dari Tiongkok itu belum teruji aman.

Baca juga: Dimarahi Sekjen PDIP karena Tolak Vaksinasi, Ribka Tjiptaning : Ya Itu Risiko

Sebab itu, ia dan seluruh keluarganya akan menolak divaksinasi.

Ia yang juga seorang dokter lebih memilih membayar denda daripada divaksinasi, meski harus dengan menjual mobil sekalipun.

Selain belum aman, Mbak Ning mengendus ada motif bisnis di balik "proyek" vaksinasi Covid-19.

Negara dilarang bisnis dengan rakyatnya, kata dia. Entah motif bisnis semacam apa yang ia maksud, karena faktanya vaksin itu diberikan secara gratis kepada rakyat.

Mungkin saja ada keuntungan ekonomi bagi oknum-oknum tertentu dalam impor vaksin yang dibiayai uang negara itu. Bila benar, ternyata jiwa proletariat Mbak Ning belum luntur juga.

Sontak. Semua terhenyak. Menolak vaksinasi adalah wacana biasa. Yang luar biasa adalah penolakan itu dilakukan oleh politisi PDIP, partai utama pendukung pemerintah.

Penolakan disampaikan secara terbuka pula, sehingga ada yang menilai dia provokatif dan menghasut.

Mbak Ning pun langsung dicap sebagai "koalisi rasa oposisi". Ia mendapat aplaus dari kaum oposan. Sebaliknya, ia mendapat kecaman dari koalisi. Ia pun ditegur partainya.

Ya, ibarat hujan, Mbak Ning salah musim. Tak seharusnya hujan itu turun di musim kemarau. "She is the right woman on the wrong place." Betapa tidak?

Di saat pemerintah dan rakyat Indonesia nyaris putus asa karena pandemi Covid-19 yang telah merenggut ribuan nyawa ini tak kunjung sirna, dan ketika muncul secercah harapan dengan adanya vaksin,

Mbak Ning justru meredupkan bahkan memadamkan harapan itu.

Padahal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan sertifikat halal. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun telah merekomendasikan penggunaan vaksin Sinovac itu.

Sesuai prinsip kehati-hatian atau "prudential', mungkin saja apa yang disampaikan Mbak Ning itu benar: Sinovac belum terbukti aman.

Apalagi ia menyertakan contoh vaksin polio dan vaksin kaki gajah yang disebutnya pernah menimbulkan kelumpuhan dan kematian di Sukabumi dan Majalaya, Jawa Barat.

Soal motif bisnis juga boleh jadi benar. Mungkin ia bercermin dari kasus pandemi flu burung beberapa tahun lalu.

Apalagi bukan rahasia lagi bahwa oknum-oknum pejabat kita gemar berburu rente.

Dari titik ini, Mbak Ning bisa dikatakan sebagai "the right woman on the wrong place'. Kalau mau mengkritik pemerintah secara terbuka, mestinya ia tidak bercokol di PDIP.

Sebaliknya, kalau mau tetap bercokol di PDIP, sebaiknya ia tak mengkritik pemerintah secara terbuka.

Ataukah yang disampaikan Mbak Ning itu merupakan pesan sponsor dari produk vaksin merek lain? Entahlah.

Yang jelas pada awal 2012 saat menjabat Ketua Komisi Kesehatan DPR, Mbak Ning pernah mendapat sanksi dari Badan Kehormatan DPR terkait kasus hilangnya ayat tentang tembakau sebagai zat adiktif dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Ia diberi sanksi tak boleh memimpin rapat hingga akhir masa jabatan di tahun 2014.

Artinya, Mbak Ning bukan wakil rakyat yang tak pernah bermasalah.

Akan tetapi, jika dilihat dari pola hidupnya yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung bersahaja, tampaknya tak ada pesan sponsor dari apa yang dilontarkan Mbak Ning itu.

Mungkin ia hanya salah musim saja.

Simak pula alasan dia menolak vaksinasi. Mbak Ning berdalih dirinya dipilih oleh masyarakat lewat pemilu.

Oleh karena itu, dia yang sudah tiga periode ini duduk di DPR ingin memastikan keamanan masyarakat yang akan diberi vaksin Covid-19.

Di sisi lain, jika dilihat dari latar belakangnya sebagai anak anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), yang ia akui sendiri dalam buku biografinya itu, sikap "memberontak" yang diperlihatkan Mbak Ning itu dapat dimaklumi.

Sebelum rezim Orde Baru tumbang, ia karib dengan perlakuan tak adil dan diskriminatif.

Maka ketika melihat potensi ketidakadilan, rakyat dikasih vaksin murah sementara pejabat dan pengusaha bisa membeli vaksin mahal, alam bawah sadarnya spontan mendorong Mbak Ning untuk "memberontak" atau melakukan perlawanan.

Tak peduli yang ia "berontak" itu adalah partainya sendiri dan juga Presiden Jokowi yang ia klaim kenal dekat.

"Je me révolte, donc je suis", aku memberontak, maka aku ada (Albert Camus, 1913-1960).

Sayangnya, Mbak Ning yang benar itu berada di tempat yang salah. Ia salah musim. Hujan itu turun di musim kemarau.

* Karyudi Sutajah Putra: Wartawan, Penulis, Konsultan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini