Oleh: Karyono Wibowo, Indonesia Publik Institute (IPI)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada telah memicu perdebatan. Salah satu yang menjadi polemik adalah pembahasan soal pelaksanaan pilkada.
Namun, perkembangan terbaru sikap sejumlah fraksi di DPR yang pada awalnya bernafsu ingin pilkada dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023 kini mulai "balik kanan". Perkembangan sementara, ada 6 fraksi (PDIP, Golkar, Gerindra, PPP, PKB dan PAN) setuju pilkada 2024. Sementara, 3 fraksi lainnya (PKS, Demokrat dan Nasdem) tetap pada pendirian agar normalisasi pilkada 2022 dan 2023 dilaksanakan.
Tarik menarik soal waktu pelaksanaan pilkada berjalan cukup alot hingga menimbulkan polemik di ranah publik.
Ada yang berasumsi bahwa pelaksanaan pilkada akan menentukan nasib sejumlah kepala daerah termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam perhelatan pemilihan pilpres 2024. Pelaksanaan pilkada 2024 dicurigai merupakan skenario untuk menyingkirkan Anies dari arena pertarungan pilpres. Tentu, premis ini menarik untuk dianalisis dan diuji sejauhmana relevansi, korelasi dan signifikansinya.
Baca juga: Kuasa Hukum Korban Laskar FPI Singgung Perkap Kapolri soal Penyidikan Tindak Pidana
Tapi ini baru semacam hipotesis umum yang masih membutuhkan pembuktian. Meminjam istilah Michel Foucault, asumsi ini setidaknya bisa menjadi diskursus, yaitu sebagai sebuah sistem berfikir yang dikonstruksi ide-ide, pemikiran yang kemudian membentuk kultur.
Diskursus yang dibangun atas asumsi yang bersifat umum seperti di atas perlu digali lebih dalam. Setidaknya, bisa dimulai dari sejumlah pertanyaan, seberapa kuat argumen yang menyatakan Anies akan tersingkir dari arena pilpres jika pilkada diselenggarakan tahun 2024.
Seberapa besar peluang Anies akan kehilangan panggung untuk tampil di depan publik.
Bagaimana konstruksi berfikir dalam membuat asumsi bahwa pelaksanaan pilkada berpengaruh terhadap agenda pemilihan presiden. Beberapa hal yang perlu dibahas juga adalah bagaimana peluang mantan menteri pendidikan dan kebudayaan ini lolos di pilpres.
Atas asumsi di atas, hemat saya, kesuksesan Anies maju di pilpres 2024 tidak serta merta ditentukan oleh penyelenggaraan waktu pilkada 2022 atau 2024. Waktu pelaksanaan pilkada tidak menjamin kesuksesan Anies dalam kontestasi pilpres.
Sebab, untuk lolos dan menang dalam kompetisi pilpres tidak sesederhana itu karena masih banyak variabel yang saling berhubungan terhadap lolos tidaknya menjadi kandidat presiden.
Itu baru tahap penentuan capres.
Belum lagi tahap pemilihan, tentu banyak faktor yang mempengaruhi kemenangan. Begitu pula sebaliknya, ada sejumlah faktor yang perlu diteliti -yang menjadi penyebab tidak lolosnya seseorang menjadi kandidat.
Pun demikian, banyak faktor yang menyebabkan kekalahan dalam kontestasi elektoral. Ferdi Akbiyik dan Ahmet Husrev Eroglu dalam artikelnya bertajuk “The Impact of Local Political Applications on Voter Choices” memaparkan bagaimana berbagai faktor dapat mempengaruhi dukungan.
Dalam konsep political marketing menurut Ferdi Akbiyik dan Ahmet Husrev Eroglu setidaknya ada tiga konsep yang dapat mempengaruhi pemilih yakni kredibilitas kandidat, program kerja kandidat serta partai politik.
Anies memang sudah menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam kancah politik nasional. Namanya selalu masuk dalam radar surcapres (survei calon presiden) meskipun dalam sejumlah survei, elektabiliitasnya menurun dalam setahun terakhir. Tapi terlepas itu, Anies masih memiliki peluang untuk menjadi kandidat presiden.
Seandainya pilkada dilaksanakan pada 2024, banyak pihak berasumsi Anies akan kehilangan panggung. Hemat saya, asumsi tersebut terlalu sederhana dan sumir. Dengan modal politik saat ini, bagi Anies tidak terlalu sulit untuk tetap tampil di depan publik. Belum lagi para pendukungnya tentu tidak akan tinggal diam.