Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Pinangki Sirna Malasari memang bukan perempuan biasa.
Dari semula bukan siapa-siapa, sampai sekolah pun dibiayai bukan oleh keluarganya, kemudian menjadi jaksa.
Ketika menjadi pejabat dan bermasalah, tiba-tiba Dewi Keadilan membuka matanya untuk dia.
Padahal selama ini mata Dewi Keadilan selalu tertutup. Apa karena Dewi Keadilan dan Pinangki sama-sama wanita?
Keadilan hukum dilambangkan dengan seorang perempuan yang lazim disebut “Dewi Keadilan”.
Mata Dewi Keadilan tertutup kain hitam.
Tangan kirinya membawa timbangan yang setara, dan tangan lainnya membawa sebuah pedang bermata dua yang diturunkan ke bawah.
Baca juga: Polemik Vonis Hukuman Pinangki Dipotong, Komisi Yudisial Lakukan Penelusuran
Lambang keadilan hukum itu terdiri atas 4 elemen utama, yakni Dewi, Mata yang Tertutup, Timbangan dan Pedang.
Berbagai literatur menjelaskan, Dewi adalah wujud keadilan yang dilambangkan dengan sosok wanita yang notabene adalah makhluk yang berhati nurani luhur, mempunyai perasaan yang halus, serta sifat yang mencintai keindahan dan kelembutan.
Mata yang Tertutup, kedua-duanya, berarti pandangannya menjadi gelap, tidak bisa melihat apa pun.
Hukum adalah tempat di mana keadilan dicari, karena makna dari mata yang tertutup adalah hukum tidak membedakan siapa yang melanggar, tidak pandang bulu, semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama, serta harus diperlakukan dengan sama pula, tanpa ada perbedaan, sesuai prinsip equality before the law.
Timbangan, takangan kiri Dewi yang matanya tertutup itu mengangkat timbangan yang seimbang atau setara.
Maknanya adalah hukum tidak pernah memihak. Setiap perbuatan akan ditimbang berat-ringannya sebelum hukuman dijatuhkan.
Tidak ada si kaya dan si miskin atau penguasa dan rakyat jelata. Semuanya apabila melakukan perbuatan melawan hukum akan mendapatkan perlakuan yang adil sesuai timbangan perbuatan yang dilakukan.
Pedang bermata dua, yang diturunkan ke bawah, bukan menggambarkan bahwa hukum itu mengancam ke bawah.
Pedang yang diturunkan ke bawah bermakna bahwa hukum bukan alat untuk membunuh.
Pedang akan terhunus apabila diperlukan sebagai senjata terakhir (ultimum remedium) dan tidak digunakan sebagai pencegahan awal (premium remedium).
Pedang bermata dua berarti tajam ke segala arah, tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah atau sebaliknya.
“Ambyar”
Namun, semua makna dari lambang keadilan hukum itu kini “ambyar” (berantakan/hancur berkeping-keping) di depan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Pinangki adalah terpidana kasus penerimaan suap dari Djoko Soegiarto Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) yang divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 8 Februari 2021.
Vonis ini lebih berat daripada tuntutan jaksa 4 tahun. Pinangki pun mengajukan banding pada pertengahan Februari 2021.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Senin (14/6/2021), mengabulkan banding itu dan memotong hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara, sesuai tuntutan jaksa di pengadilan tingkat pertama.
Orang bilang hukuman Pinangki disunat. Tapi sebenarnya bukan disunat, melainkan “dimutilasi”.
Kalau disunat 'kan potongannya hanya sedikit. Ini banyak, bahkan lebih dari setengahnya.
Dewi Keadilan itu pun membuka matanya, menjadi pandang bulu, dan tak lagi adil.
Ada beberapa pertimbangan majelis hakim PT DKI Jakarta mengurangi vonis Pinangki, yang dapat ditafsirkan sebagai terbukanya mata Dewi Keadilan.
Pertama, lantaran Pinangki mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
Kedua, Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun), sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.
Ketiga, Pinangki sebagai seorang wanita juga harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Padahal, Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana sekaligus. Yakni, terbukti menerima suap sebesar US$ 500 ribu dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra; terbukti melakukan money laundering atau pencucian uang senilai US$ 375.279 atau setara Rp 5.253.905.036 di mana uang tersebut adalah bagian dari uang suap yang diberikan Djoko Tjandra; dan melakukan permufakatan jahat.
Jika alasannya subyektif begitu, betapa banyak koruptor yang akan mendapatkan “mutilasi” hukuman, terutama wanita koruptor, karena alasan majelis hakim begitu feminin.
Sebut saja Sri Wahyumi Maria Manalip.
Mantan Bupati Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, ini divonis 4,5 tahun penjara karena korupsi.
Namun di tingkat kasasi hukumannya dipotong MA menjadi 2 tahun penjara.
Perempuan (kebetulan) korupsi sebenarnya bukan monopoli Pinangki dan Wahyumi. Setidaknya ada 8 perempuan lain yang juga (kebetulan) terlibat korupsi. Tapi, hukuman mereka toh tidak “dimutilasi” laiknya Pinangki dan Wahyumi.
Sebut saja mantan anggota DPR RI Angelina Patricia Pinkan Sondakh yang terjerat kasus korupsi proyek Wisma Atlet di Palembang, Sumatera Selatan, 2013 lalu.
Dalam persidangan, Angie terbukti menerima aliran dana dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin sebesar Rp 2 miliar.
Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Angie 4 tahun penjara, dan denda Rp 250 juta subsidair enam bulan kurungan.
Di tingkat kasasi, hukuman eks-Putri Indonesia 2001 ini bertambah menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, ditambah kewajiban membayar uang pengganti korupsi Rp 12,58 miliar dan US$ 2,35 juta.
Politikus Partai Demokrat ini lalu mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengabulkan, hukumannya dikurangi menjadi 10 tahun penjara, ditambah denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Kasasi, hukuman Angie malah ditambah 8 tahun, dari 4 tahun menjadi 12 tahun.
Di tingkat PK, hukuman Angie dikurangi “hanya” 2 tahun, menjadi 12 tahun penjara. Di depan Angie, Dewi Keadilan ternyata tak mau membuka matanya.
Padahal, saat itu Angie juga punya anak balita, Keanu Massaid, buah pernikannya dengan Adjie Massaid, yang dilahirkan tahun 2009.
Mantan Bupati Bekasi, Jawa Barat, Neneng Hassanah Yasin, yang terjerat kasus korupsi perizinan proyek pembangunan Meikarta, juga tak mendapat “berkah” yang sama seperti Pinangki. Pun Rita Widyasari, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur; Siti Masitha, mantan Walikota Tegal, Jawa Tengah; Atty Suharti, mantan Walikota Cimahi, Jabar; Sri Hartini, mantan Bupati Klaten, Jateng, Ratu Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten, dan Vonnie Anneke Panambunan, mantan Bupati Minahasa Utara, Sulut.
Mengapa Dewi Keadilan tak mau membuka matanya buat mereka?
Hukuman Ringan
Padahal, hukuman bagi koruptor di Indonesia rata-rata terbilang ringan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, selama 4 tahun terakhir sejak 2016 hukuman koruptor rata-rata ringan atau di bawah 4 tahun.
Bahkan selama 2020, hukuman koruptor rata-rata 3 tahun 1 bulan penjara. Dikurangi remisi setiap hari raya dan 17 Agustus, hukuman yang mereka jalani sungguh singkat.
Apakah jaksa akan mengajukan kasasi atas "mutilasi" hukuman Pinangki? Mungkin akan pikir-pikir dulu. Sebab di tingkat kasasi pun MA kerap memberikan diskon hukuman.
Apalagi setelah Artidjo Alkostar sudah tidak di MA. Jangan-jangan justru Pinamgki yang akan mengajukan kasasi supaya bebas.
ICW mencatat, sepanjang 2020, MA telah mengurangi hukuman 8 koruptor. Termasuk Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat yang menjadi terpidana korupsi proyek Wisma Atlet di Kementerian Pemuda dan Olah Raga.
Hukuman Anas dikorting 6 tahun, dari 14 tahun menjadi 8 tahun penjara.
Tujuh koruptor lainnya yang dipotong masa hukumannya oleh MA adalah mantan Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud, mantan Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara Rohadi, Sri Wahyumi Maria Manalip, mantan Walikota Cilegon, Banten, Tubagus Iman Aryadi, mantan anggota DPR RI Musa Zainudin, serta dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.
Sebelumnya, MA juga telah memberikan diskon gede-gedean hukuman koruptor, seperti Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangeng, Samsu Umar Abdul Samiun, Billy Sindoro, Hadi Setiawan, OC Kaligis, Irman Gusman, Helpendi, Sanusi, Tarmizi, Patrialis Akbar, Tamin Sukardi, Suroso Atmomartoyo, Badaruddin Bachsin, Adriatma Dwi Putra, dan Asrun.
Hakim, jika ditanya mengapa menjatuhkan vonis ringan, tentu jawabnya sudah sesuai dengan undang-undang, dan juga dengan hati nuraninya. Nah, hati nurani inilah yang parameternya subyektif. Mengapa Dewi Keadilan tidak hadir di hati para hakim itu? Ataukah memang hadir, tapi Dewi Keadilan sudah membuka matanya?
Hakim juga berlindung di balik independensi profesinya, sesuai amanat undang-undang. Kekuasaan kehakiman adalah merdeka dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Bahkan hakim diasumsikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini. Sebab itu, keputusan hakim selalui didahului dengan frasa, “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sayangnya, tak sedikit hakim yang kemudian tertangkap basah menerima suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apakah hati nurani mereka sudah tertutup seperti mata Dewi Keadilan?
Lalu, di mana independensi mereka kalau masih terpengaruh oleh kekuasaan uang? Apakah mereka dalam menjatuhkan vonis didahului frasa, “Demi keadilan berdasarkan keuangan yang maha kuasa”? Wallahu a’lam.
* Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media, tinggal di Jakarta.