Oleh: Anggota DPD RI Abdul Rachman Thaha
TRIBUNNEWS.COM - Vaksin Covid-19 di Indonesia digunakan dengan dasar izin penggunaan darurat yang dikeluarkan BPOM. Dari sebutannya, "izin darurat", bisa dibayangkan kegentingan yang harus segera teratasi lewat vaksinasi massal. Dengan kata lain, seluruh pemangku kepentingan harus punya mindset yang sama bahwa dalam situasi darurat yang terpenting adalah bagaimana sebanyak-banyaknya vaksin bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Menjadi aneh bahwa dalam situasi darurat yang bahkan kian memburuk seperti sekarang ini, Pemerintah justru memakai mindset non-kedaruratan dengan melakukan komersialisasi vaksin melalui apotek tertentu. Ketika target satu juta orang divaksin per harinya masih belum tercapai, termasuk akibat keterbatasan pasokan vaksin, sungguh aneh bahwa sebagian vaksin justru dialokasikan tidak untuk mencapai target itu.
Baca juga: Akses pedulilindungi.id untuk Download Sertifikat Vaksinasi Covid-19 Secara Online
Apakah Pemerintah memanfaatkan sumbangan vaksin dari negara-negara lain, lalu menjadikan persediaan vaksin sebelumnya sebagai barang dagangan?
Kita patut tiru negara jiran, Filipina misalnya, yang bersikukuh tidak memperdagangkan vaksin Covid-19 dan memperlakukan perdagangan vaksin sebagai perbuatan ilegal. Pelakunya dijatuhi hukuman.
Tambahan lagi, dalam situasi sepelik sekarang, saya khawatir Pemerintah belum siap membangun safeguard untuk menangkal perdagangan gelap vaksin dan penjualan vaksin palsu. Kekhawatiran ini beralasan, mengingat berbagai perlengkapan dan peralatan untuk penanganan Covid-19 ternyata sudah dipalsukan dan beredar di masyarakat. Antara lain, masker bekas pakai, oximeter palsu, dan sertifikat palsu. Jika nantinya terbukti vaksin palsu dll. itu lalu lalang tak terkendali, maka semakin nyata bahwa inisiatif perekonomian lewat perdagangan vaksin justru mendatangkan persoalan keamanan dan penegakan hukum yang luar biasa peliknya.
Baca juga: Setelah Tuai Polemik, Kimia Farma Putuskan Tunda Layanan Vaksinasi Covid-19 Berbayar
Satu lagi. Bagaimana sistem prioritas pemberian vaksin masih bisa dipertanggungjawabkan keberlanjutannya? Dulu yang diprioritaskan adalah tenaga kesehatan dan petugas layanan publik. Lalu manula. Prioritas berikutnya orang dengan gangguan jiwa. Saya tak menangkap informasi tentang prioritas-prioritas berikutnya.
Baca juga: FAKTA soal Vaksin Berbayar di Kimia Farma, Dibandrol Harga Rp 321.660 per Dosis, Tuai Banyak Kritik
Dalam konteks itulah, saya memandang perdagangan vaksin via apotek semakin kuat mengindikasikan bahwa Pemerintah sendiri kini justru abai terhadap sistem prioritas yang pernah dibangunnya sendiri. Untuk mengujinya gampang: Coba sajikan data, berapa persen orang-orang dari kelompok prioritas yang telah divaksin. Lalu tanyakan ke Pemerintah, bagaimana komersialisasi vaksin bisa mempercepat tuntasnya vaksinasi bagi seluruh anggota kelompok-kelompok prioritas tersebut.
Perekonomian negara yang dinilai banyak kalangan kian mendekati titik kolaps ini memang perlu diselamatkan. Diselamatkan bagi kepentingan seluruh masyarakat Indonesia, terutama masyarakat lapisan bawah yang pastinya terdampak paling hebat. Tapi Pemerintah perlu mengerahkan kreativitas guna menemukan terobosan-terobosan ekonomi yang lebih prospektif sekaligus sensitif terhadap masyarakat. Dan perdagangan vaksin pada masa sekarang, menurut saya, tidak patut menjadi terobosan itu.