Mengapa Diaspora Politik NU Harus Diakhiri?
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan telah memainkan peran penting politik kebangsaan. Peran substansial ini membuat NU tidak dapat sepenuhnya dijauhkan dari politik praktis. KH. Abdurrahman Wahid (alm.), misalnya, mendirikan partai (PKB) demi mewujudkan cita-cita mulia politik kebangsaannya.
Hingga hari ini, telah banyak ulama dan kiai NU juga berperan strategis dalam partai politik selain PKB. Bahkan, KH. Solahuddin Wahid (Gus Sholah), adik Gus Dur, menyadari hubungan erat NU dan politik. Pada tahun 2019, Gus Sholah mengatakan, “NU terlalu besar untuk diwadahi oleh PKB.”
Di tahun 2021, fenomena mengejutkan terjadi depan mata kita, di mana ada 109 Kepala Daerah yang berangkat dari PDI-P adalah kader-kader terbaik NU. Fenomena ini menurut Gus Mis ( Zuhairi Misrwai), cendikiawan NU dan politisi PDI-P, adalah peristiwa terbesar bila dibandingkan dengan parpol lain se-Indonesia. PDI-P jauh lebih berhasil mengantarkan kader NU pada kursi kekuasaan.
Persebaran kader NU di luar PKB kita sebut sebagai diaspora politik warga Nahdliyyin. Ada lima (5) pertimbangan mengapa diaspora di berbagai parpol ini perlu dikaji ulang. Pertama, kita telah menyaksikan perubahan politik (political change). Paska runtuhnya Orde Baru Soeharto, naluri politik umat muslim umumnya dan Nahdliyyin khususnya berhamburan. Tali kekang itu putus, membuat setiap orang bebas membangun afiliasi politik.
Sejak era reformasi, tidak relevan lagi adanya arus politik sentralisasi. Buktinya, tumbuh subur partai politik. Di level mikro-personal, tidak ada batasan apapun bagi setiap insan politik untuk berafiliasi pada partai tertentu. Bahkan, setiap individu berhak mendirikan partai-partai baru, sekalipun tidak ada jaminan mampu menjadi corong politik baru.
Namun, kontribusi kader NU pada Jam'iyyah pada Pilpres 2019 belum kentara. Buktinya, NU sempat meradang karena nyaris tidak dapat jatah Menteri. Bahkan, NU blak-blakan minta jatah Menteri, karena suara Nahdhiyyin ke Jokowi tidak gratis. Inilah alasan kuat politik diaspora pada Pilpres 2024 nanti tidak lagi efektif bagi kepentingan NU.
Kedua, diaspora politik ini sudah menjadi perilaku kolektif (collective action), baik cendikiawan maupun warga NU. Sebagai bentuk perilaku kolektif, di dalamnya tersimpan rasionalisasi dan argumentasi kuat, baik kepentingan personal, kelompok, ataupun idealisme personal. Setiap individu memiliki alasan masing-masing mengapa memilih Golkar, PDI-P, Gerindra, atau lainnya. Juga ada alasan kuat untuk tidak bergabung ke dalam gerbong PKB, yang didirikan oleh Gus Dur.
Di sisi lain, diaspora semacam ini adalah bahasa simbolik solidaritas Nahdliyyin yang rapuh, khususnya dalam kepentingan politik praktis. Diaspora memang ideal di satu sisi, tetapi merugikan di sisi lain. Berbagai parpol yang memperebutkan suara Nahdhiyyin memang meningkatkan citra ormas, tetapi merapuhkan solidaritas jam'iyyah NU. Kemudian dengan bangga para elite menyebutnya sebagai ajang kebebasan berpendapat dan berserikat.
Ketiga, perilaku kolektif ini tidak organik, melainkan dikondisikan oleh aspek struktural penentu (structural determinant). Salah satu contohnya, NU tidak lagi dapat didefinisikan secara struktural keormasan, karena pada nyatanya pengaruh pengurus di jabatan struktural tidak jauh lebih karismatik dari kiai-kiai dan ulama-ulama NU yang beroperasi di ranah kultural.
Dampaknya, diaspora politik memecah-belah NU Struktural dengan NU Kultural. Jangan heran apabila pada setiap putaran pemilihan umum, elite politisi PBNU menyatakan dukungan pada satu kubu, dan di saat yang sama kalangan ulama-kiai NU lain menyatakan dukungan pada kubu sebelah. Contohnya, PBNU siap menangkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin di satu sisi. Tetapi, di sisi lain, sebagian keluarga pendiri NU berada di kubu Prabowo-Sandi.
Diberitakan pada publik bahwa Beberapa cucu pendiri NU yang menyatakan mendukung Prabowo-Sandiaga, antara lain KH Hasyim Karim, Irfan Yusuf Hasyim, KH Fahmi Amrullah, KH A Baidhowi, Gus Billy, Gus Adib. Kemudian, KH Hasib Wahab, KH Ghozli Wahib Wahab, Hj Maslachah Wahib Wahab, KH Rohmad Wahab, Gus Abdul Rozak, dan Nyai Hj Oni Idris Hamid.
Keempat, diaspora politik elite dan warga Nahdliyyin adalah korban adanya konsolidasi politik (victim of political consolidation). Seluruh parpol yang ada membangun jaringan politik mereka dengan tokoh-tokoh simpul dalam tubuh NU. Artinya, idealisme politik kebangsaan Nahdliyyin disubordinasi ke dalam kepentingan politik praktis berbagai parpol.
Diaspora politik NU menjadi pintu gerbang kolonialisasi atas ideologi NU oleh ideologi berbagai partai politik. Membiarkan praktek diaspora politik ini terus-menerus bergulir, sama saja dengan menyumbat saluran konsolidasi suara politik kebangsaan NU. Sehingga mustahil menyebut NU memiliki ideologi kebangsaan, sementara saluran politiknya beragam. Bercampur baur dengan beragam warna lain.
Kelima, diaspora politik melahirkan hubungan yang hirarkis antara kiai-kiai struktural dan kiai-kiai kultural; bagaikan hubungan pusat dan pinggiran (centre-local relation). Semakin berada pada kepengurusan pusat maka semakin dekat dengan kekuasaan.
Ketimpangan distribusi modal sosial-politik ini membuat semakin jauh antara akses pengurus pusat dan daerah. Sehingga membuka kran afiliasi politik tidak seragam, sekalipun sama-sama ulama-kiai NU. Ketidakseragaman ini berdampak pada kelas sosial akar-rumput, yang melihat figur kiai mereka berbeda-beda.
Hubungan dengan model “pusat-pinggiran” semacam itu sangat rentan, terutama di sisi ketahanan politis dan kultural. Dari sisi politik, suara setiap elite dan warga Nahdliyyin mudah dipecah belah. Di sisi kultural, ideologi kebangsaan NU mudah disusupi kepentingan ideologis partai-partai lain.
Dengan mempertimbangkan lima kerentanan akibat praktek diaspora politik warga Nahdliyin tersebut, penulis cenderung menyuarakan segera mengakhirinya. Pilpres 2024 nanti harus menjadi momentum paling bergairah untuk menentukan arah suara Nahdhiyyin. Jangan sampai terulang lagi fenomena NU meradang, "mengemis", dan meminta jatah menteri yang tak kunjung diberikan, kecuali pada tengah-tengah perjalanan periode kekuasaan presiden terpilih. Sudah saatnya NU struktural dan kultural mengukuhkan soliditas dengan kembali ke Rumah Besar Politik NU/Nahdliyyin secara totalitas Yaitu " PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) ", Jika itu terlaksana bukan Hal yang mustahil NU/PKB akan menjadi kekuatan politik terbesar di Indonesia, bahkan menyalip PDIP di pemilu 2024. Wallahu a'lam bisshawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*