News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tatkala Presiden Perintahkan Pembatasan Jumlah Bandara Internasional di Indonesia

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

 
Oleh: Agus Santoso *
 
TRIBUNNEWS.COM - Dalam suatu rapat terbatas di bulan Juni setahun lalu, Presiden Jokowi memerintahkan kepada para menterinya untuk membatasi jumlah airport di Indonesia yang berstatus sebagai bandara internasional.

Jokowi sudah punya rencana lebih cepat selangkah kedepan berfikir mengontrol screening mempermudah beban pengawasan datangnya orang asing masuk Indonesia.

Caranya dengan mengurangi jumlah pintu masuk dari 30 pintu masuk Internasional Airport saat itu berkurang ke sekitar 8 airport internasional saja.

Langkah ini juga untuk menjawab efisiensi operasional airport yang mana diketahui setiap airport internasional harus memiliki dan mengoperasikan customs, imigrasi,  dan karantina (CIQ) dengan biaya operasi yang tinggi.

Lembaga pemerintahan ini wajib ada untuk mengatur, mengawasi dan mengamankan lalu-lintas keluar masuknya manusia, barang-barang dan mahluk hidup lainnya demi tegaknya kewibawaan pemerintah suatu negara.

Jadi, negara harus hadir dalam operasional bandara internasional.

Baca juga: Aturan Lengkap PPKM Level 4 di Wilayah Jawa dan Bali, Berlaku hingga 9 Agustus 2021

Dr Ir Agus Santoso MSc, Analis Transportasi & Pariwisata. (dok.pribadi)

Sedangkan dengan menurunnya mobilitas penumpang sebagai langkah mengerem penularan Covid-19 mengakibatkan manajemen airport yang selama ini membukukan keuntungan, menjadi sumber kerugian masal di hampir seluruh airport yang beroperasi di Indonesia sebagaimana airport lain di seluruh dunia.

Baca juga: Fasilitas KA Bandara YIA Yogyakarya Ditargetkan Beroperasi 17 Agustus 2021

Langkah presiden ini tentu akan mengurangi beban kerugian dimana sektor transportasi khususnya transportasi udara merupakan subsektor yang paling terdampak langsung dari adanya pandemi Covid 19 ini.

Baca juga: Progres Pengembangan Bandara Sam Ratulangi Manado Mencapai 92 Persen

Inilah salah satu dari sekian banyak kebijakan-kebijakan Jokowi yang layak mendapat standing applause sebagai seorang Presiden.

Kebijakan ini merupakan kepusan sangat tepat pada waktu yang tepat pula, yang mana Pandemi Covid-19 sedang gencar menyerang dunia, tanpa kecuali Indonesia juga yang saat ini sedang berjuang masif secara nasional.

Pemerintah sebagai navigator telah hadir di berbagai penjuru mensuplai obat obatan Covid 19 secara nasional, menyediakan tabung oksigen didukung secara bersama seluruh komponen masyarakat yang sadar merasa senasib sepenanggungan dalam penanganan pandemik dunia, menyediakan vaksin secara besar besaran dan memberikan pengobatan, masyarakat dengan naluri solidaritas sebuah bangsa besar telah menciptakan situasi terkoordinasi, terkendali menanggulangi serangan Covid-19 gelombang kedua secara bersama.

 
Sektor yang sangat terpukul dengan Pandemi Covid-19 adalah sektor Transportasi, karena dengan pembatasan pergerakan orang maka otomatis transportasi merosot feedingnya.

Hal ini menjadikan merosot pula pendapatannya yang pada siklus life cycle product revenue ini akan memutar pergerakan keberlangsungan transportasi (Transportation Sustainability).

Gambaran SubSektor Transportasi Udara Revenue dari bisnis aeronautika dan nonaeronautika yang menjadi sumber pemasukan reveue stream perseroan sekelas Angkasa Pura perusahaan pengelola Bandar Udara menjauh dari target.

Situasi bisnis yang semula normal berubah menjadi tidak normal dan berpeluang mengarah pada kondisi krisis perusahaan BUMN Transportasi.
 
Kebijakan ini in-line dan diterjemahkan secara komprehensif oleh Menteri BUMN Erick Thohir yang Dalam rapat bersama Komisi VI DPR pada Kamis, 3 Juni 2021, Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan bahwa jumlah bandara yang dapat didarati maskapai asing perlu dibatasi.

Saat ini, ada 30 bandara internasional di Indonesia yang dapat didarati maskapai asing.

Jumlah ini dinilai terlalu banyak. Apa yang disampaikan Menteri Erick Thohir ini sudah dibahas bersama Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi selaku regulator transportasi nasional.

Salah satu tujuannya adalah untuk memaksimalkan maskapai nasional, baik maskapai pelat merah maupun airlines swasta.

Dengan pembatasan ini, Garuda Indonesia, CitiLink, Batik Air, dan airlines nasional lainnya yang membawa penumpang dari bandara internasional ke bandara domestik dan dari bandara domestick satu ke bandara domestik lainnya.
 
Selain itu destinasi akan bisa diatur didalam negeri sendiri dan ini semua juga disinergikan secara bersama dalam ekosistem Holding BUMN Penerbangan yang akan memberikan multiplier effect terhadap Pariwisata Indonesia dimana Pariwisata jelas merupakan kontributor besar terhadap devisa negara.

Sehingga Holding BUMN ini dinamai Holding Pariwisata & Pendukungnya, yang saat ini sedang digodog di Kemeneg BUMN.
 
Apa yang disampaikan Menteri Erick Thohir ini sebenarnya nerupakan penguatan terhadap sesuatu yang telah disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas tahun lalu.

Presiden Jokowi menilai dari 30 bandara internasional di Indonesia, hanya 8 bandara yang berpotensi menjadi hub dan super hub, yakni Ngurah Rai (Denpasar), Soekarno-Hatta (Cengkareng), Kualanamu (Medan), Yogyakarta, Juanda (Surabaya) Balikpapan, Hasanuddin (Makassar), dan Sam Ratulangi (Manado).

Selebihnya berperan sebagai bandara pengumpan sehingga berdampak positif terhadap ekosistem pariwisata di mana penerbangan menjadi salah satu unsur vital di dalamnya.
 
Pengurangan jumlah bandara internasional tentu langkah strategis yang tidak hanya didorong oleh kepentingan komersial dan ekonomis.

Pandemi Covid-19 yang berdampak signifkan pada penurunan revenue industri aviasi ibarat alarm yang memberikan sinyal bahwa jumlah bandara internasional di Indonesia perlu direvisi.

Kondisi ini tentunya harus disikapi secara rasional yang sangat mungkin merevisi kebijakan yang diambil sebelumnya.
 
 
Dengan membatasi jumlah bandara internasional, pengawasan terhadap keluar masuk orang asing semakin terfokus.

Artinya, kedaulatan negara benar-benar tercermin dari lembaga yang mengawasi lalu lintas orang asing ini. Penegakan wibawa negara perlu diperlihatkan secara nyata, jelas, dan elegan di mata internasional.

Hal ini dapat diwujudkan di bandar udara yang secara geografis, jumlah maskapai yang dilayani, intensitas keluar masuk orang asing memang sesuai dengan gambaran internasional itu sendiri.

Kondisi ini hanya terjadi di 8 bandar udara internasional yang disebutkan di atas. Di luar 8 bandara tadi, kondisi tentu jauh berbeda.
 
Selain masalah kedaulatan negara, aspek lain yang tidak kalah penting adalah kontrol terhadap penerbangan domestik.

Sebagai negara berdaulat, kita wajib memastikan bahwa penerbangan domestik dikontrol oleh maskapai nasional, baik maskapai milik negara maupun swasta.

Tentu sangat rasional jika maskapai asing cukup terbang ke 5-8 bandar udara internasional daripada terbang langsung ke 30 bandara internasional di Indonesia.

Apalagi tingkat kedatangan turis asing ke 22 bandara internasional itu belum sesuai harapan. Yang terjadi, justru sebaliknya. WNI yang terbang langsung ke luar negeri justru lebih banyak.
 
Dalam hal pembatasan jumlah bandara internasional, kita perlu belajar dari negara lain seperti Amerika Serikat, Jepang atau negara lain.

Amerika Serikat punya 2.180 bandara. Tapi, bandara internasionalnya hanya 150. Artinya rasio bandara internasional dan domestik 1:15.

Sedangkan Jepang punya 98 bandara, 5 diantaranya bandara internasional. Rasio bandara internasional dan domestik adalah 1:20.

Begitu juga Filipina yang punya 78 bandara, 4 di antaranya bandara internasional. Rasionya sama dengan Jepang yakni 1:20.

Indonesia punya 212 bandara, 30 di antaranya adalah bandara internasional atau dengan rasio 1:7.

Dengan memperhatikan faktor lain seperti jumlah penduduk, jumlah maskapai nasional, dan lain-lain, jumlah bandara internasional di Indonesia memang terlalu banyak.
 
Langkah Presiden Joko Widodo mengurangi jumlah bandara internasional di Indonesia tentu sangat relevan dan rasional.

Baik dipandang dari aspek kepentingan nasional dan semangat kebangsaan maupun dari sudut pandang komersial dan ekonomis.

Kebijakan ini sudah pasti menimbulkan resistensi bagi beberapa pihak yang selama ini cenderung memanjakan dan memberikan banyak kelonggaran untuk maskapai asing beroperasi di Indonesia.

Jika kita ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak ada jalan lain kita harus benar-benar memegang kendali terhadap maskapai asing di Indonesia.
 
Pembatasan bandara internasional dan pembenahan bandara di Indonesia menjadi sangat penting karena bandara menjadi unsur vital Holding BUMN Pariwisata dan pendukungnya. Berfokus membatasi hanya 5 bandara sebagai bandara internasional adalah langkah rasional yang perlu segera direalisasikan.

Puluhan bandara lain meskipun tidak menyandang status bandara internasional tetap dipertahankan kualitas infrastruktur hingga layanannya supaya menjelma menjadi bandara udara domestik dengan kualitas layanan internasional.

Dengan ikhtiar ini, niscaya mampu memberikan layanan berkualitas internasional dengan sentuhan kearifan lokal dengan status tetap sebagai bandara domestik. Semoga.
 
 
*  Dr. Ir. Agus Santoso MSc
Penulis adalah Analis Transportasi & Pariwisata dan pernah menjadi Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub dan Komisaris Garuda. Artikel ini sepenuhnya merupakan opini pribadi penulis.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini