OLEH : AWESTI TUNGGO ARI, Alumni FH dan Notariat UGM
PANDEMI yang selama ini kita tunggu saat berakhirnya, masih menyisakan tanda tanya, sebab tidak ada yang mampu memprediksi kapan akan berakhir.
Perubahan perilaku yang mau tidak mau harus kita lakukan, ternyata membawa dampak positif di beberapa aspek kehidupan.
Tulisan ini memaparkan beberapa aspek yang terdampak secara positif, yaitu aspek religiusitas, aspek pergaulan sosial, dan aspek pengembangan pribadi.
Aspek religiusitas
Kesadaran akan pentingnya bertaqwa kepada Tuhan sudah kita miliki. Namun rasa takut terpapar dan kekhawatiran yang muncul akibat pandemi, meningkatkan religiusitas kita.
Sebab timbulnya perasaan akan perlunya memiliki pegangan akan sesuatu yang lebih kuat dari kita, lebih besar dari kita, yang kita harapkan melindungi kita.
Beribadat yang semula kita lakukan dengan mendatangi tempat ibadah, kini berganti dengan ibadah secara virtual.
Beberapa agama melakukan penyederhanaan ritual peribadatan, dengan memangkas bagian bagian yang tidak terlalu penting, hingga ibadat kita lakukan dalam waktu yang lebih singkat.
Pandemi mengajarkan kita untuk mementingkan esensi dan bukan aksesori. Esensi ibadat bukan terletak pada lamanya, melainkan pada kualitasnya dalam menciptakan kedekatan hubungan kita pada Tuhan.
Aspek Pergaulan Sosial
Pandemi mengubah perilaku sosial kita. Segala sesuatu menjadi lebih simpel, egaliter, menyederhanakan hirarki.
Melalui aplikasi zoom, kita bisa duduk dalam satu ruang virtual yang sama, berdialog secara langsung saat kita mengajukan pertanyaan dalam acara webinar, dengan para pejabat negara, yang dalam kondisi normal, hal ini memerlukan prosedur yang bisa jagi kadang berbelit.
Dalam pertemuan virtual, kita bisa berada dalam satu frame dengan orang orang yang berdomisili di daerah bahkan negara yang berbeda.
Dalam kondisi normal kita harus terbang menempuh jarak yang bisa jadi jauh untuk bertemu dengan mereka, dengan waktu yang kadang kala tidak bisa dibilang pendek.
Dengan demikian tehnologi sudah memangkas jarak dan waktu.
Dalam pertemuan virtual yang mulai bisa kita adakan sejak masa pandemi, atribut pakaian tidak lagi menjadi penting, make up bagi wanita juga menjadi tidak penting.
Kita cukup berbusana yang menampilkan kepatutan. Pandemi mengajarkan bahwa yang penting adalah esensi, bukan artificial, bukan aksesori.
Waktu juga menjadi lebih berharga, sebab dalam pertemuan fisik, kadang kita membuang waktu untuk menunggu pembicara hadir.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat komunal yang menyukai interaksi sosial, yang selama ini dilakukan secara temu muka.
Namun selama pandemi, kemampuan untuk menahan diri melakukan pertemuan dengan tujuan bersosialisasi, malah justru akan dihargai.
Selama pandemi, “kewajiban moral” untuk sowan kepada orang tua atau orang-orang yang kita hormati, kita ganti dengan cara virtual melalui video call.
Hal mana dalam kondisi normal, hal tersebut dianggap kurang pantas dan kurang tepat. Pandemi mengajari kita simplifikasi. Orang tua kita akan memaklumi kalau kita tidak sowan karena suasana terkini.
Kewajiban moral untuk melayat tetangga, kenalan, kerabat yang meninggal menjadi melunak.
Sebelum pandemi, bila kita tidak pernah datang melayat maka kita akan dicap sebagai orang yang asosial, tidak lumrah, namun pandemi mengubah hal itu menjadi sesuatu yang bisa dimaklumi.
Selama pandemi, perhelatan pernikahan juga mengalami penyederhaan. Sebelum masa pandemi, orang punya hajat biasanya akan menyesuaikan dengan status sosial ekonominya.
Makin makmur seseorang, makin besar pesta yang diadakan. Tidak demikian halnya dengan saat saat terakhir ini.
Pemberkatan pengantin di gereja, dibatasi jumlahnya, undangan juga dibatasi. Beberapa sudah mengubah gaya resepsi dengan model drive through, sehingga menghindari kontak fisik.
Esensi dari perkawinan adalah mempersatukan dua orang yang masing masing membawa keluarga, bukan pada kemeriahan pesta.
Sebelumnya , kadang orang terjebak pada hebohnya persiapan pesta dibandingkan persiapan mempersatukan dua keluarga yang berbeda latar belakang dan kebiasaannya.
Ketidak hadiran kita dalam moment moment di atas, akan dimaklumi selama pandemi. . Di sini terjadi perubahan etika sosial. Dari hal yang semula dianggap kurang pantas, menjadi hal yang bisa dimaklumi.
Terbukti etika itu bukan sesuatu yang sifatnya stabil, menetap. Tapi bisa diubah menyesuaikan keadaan dan perkembangan jaman.
Pandemi menyebabkan kita hidup dalam ketidak pastian, mengajarkan kita untuk rendah hati. Siapapun kita, apapun status sosial yang kita miliki, kita semua memiliki kekhawatirah yang sama.
Hal itu menimbulkan rasa rendah hati dan perasaan sederajat, egaliter. Covid-19 tidak mengenal status sosial, kedudukan seseorang.
Setiap orang berisiko terpapar, terlebih lagi bila kita tidak menerapkan protokol kesehatan dengan baik dan benar. Siapapun kita, memiliki kahawatiran yang sama.
Pada saat ada tetangga, teman, kerabat yang terpapar, bersama sama kita akan mengulurkan tangan untuk membantu.
Kebersamaan yang ditampakkan saat membantu memenuhi kebutuhan mereka, tanpa memperdulikan apa agamanya, apa etnisnya, tanpa bendera primordial, menyatukan emosi kita sebagai satu bangsa yang tinggal dalam satu wilayah negara yang sama.
Hal ini memupuk kepedulian pada sesama yang membutuhkan dan juga memupuk nasionalisme.
Aspek Pengembangan Pribadi
Keharusan untuk tinggal di rumah dan hanya keluar rumah jika sangat perlu, menyebabkan kita punya lebih banyak waktu.
Aktivitas bersosialisasi yang kini dilakukan secara virtual, menyebabkan waktu kita tidak tersita untuk mencapai titik pertemuan.
Saya pribadi menggunakan waktu saya untuk membaca, menulis di media online, dan belajar filsafat. Bidang yang selama ini saya anggap sulit dan membuat kepala lekas pening, ternyata menarik untuk dipelajari dan didalami.
Sebelum pandemi, saya cukup jarang mempunyai waktu untuk membaca buku, walau saya bukan seorang yang berkarier di luar rumah, sebab masa masa tertentu waktu saya habis untuk bersosialisasi dengan teman, kerabat, kenalan.
Perubahan yang serba mendadak karena munculnya pandemi, menyadarkan kita akan pentingnya belajar dan terus belajar sepanjang hidup, karena ketidak pastian yang ada, menuntut kita untuk mampu menyesuaikan diri.
Untuk memiliki resiliency yang tinggi. Tanpa kemampuan menyesuaikan diri, kita akan tertinggal.
Beberapa ahli mengatakan virus Covid-19 tidak akan musnah, hanya akan menjadi lebih aman. Sama seperti pandemi yang terjadi sebelumnya, masih akan menyisakan ancaman walau tidak seganas sebelumnya.
Jadi dalam waktu ke depan, kita akan hidup bersama dengan eksistensi Covid-19, yang tidak akan lagi menjadi pandemi, tapi sudah berubah menjadi endemi.
Kemungkinan beberapa kebiasaan baru yang terbentuk, akan tetap dijalankan. Semoga semuanya segera menjadi baik (*)