WAKTUNYA, MELAPANGKAN MASA DEPAN NU DI TANGAN GENERASI MUDA
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Era milenial penuh dengan tantangan, menuntut semua orang melakukan penyesuaian. Tidak terkecuali Jam’iah Nahdlatul Ulama, ormas besar yang pengaruhnya sekarang mendunia. Berbagai cabang istimewa dibuka di beberapa negara maju, bahkan ada Nahdlatul Ulama Afghanistan yang terinspirasi walau tidak secara struktural ada di bawah naungan NU Indonesia.
Kini cabang istimewa NU ini telah menghiasi 137 negara di dunia. Wakil Ketua Tanfidzhiah PCNU Kab. Banjar, Khairullah Zain, pernah mengataka: "para Waliyullah pendiri NU sudah tahu bahwa kelak NU akan mendunia. Buktinya, lambang NU yang dibuat KH. Ridwan Abdullah berbentuk bola dunia," (Banua.co, 21/12/2020).
Negara-negara superpower seperti Amerika Serikat, Ingris, Jerman, Perancis, Rusia, dan Tiongkok China, semuanya sudah menyaksikan kehadiran Jam'iyahh Nahdlatul Ulama. Negara-negara adidaya ini, sebagai aktor dan agen sentral ‘penggerak’ sejarah peradaban dunia, sedang menantikan kontribusi NU.
Untuk dasar itulah, Sekretaris Jenderal PBNU, Dr. KH. Helmy Faishal Zaini, mengatakan bahwa PCINU adalah duta-duta perdamaian internasional, yang dapat menempatkan dirinya dalam konteks percaturan global, serta berperan sebagai bagian dari solusi permasalahan global (uninus.ac.id).
Membawa NU ke masa depan dengan medan juang yang kompleks, sungguh membutuhkan sosok pemimpin yang kuat. Sosok pemimpin yang karismatik; bukan saja karena penguasaan ilmu keagamaannya yang luas dan perilakunya yang berbudi luhur. Lebih dari itu, ia juga memiliki energi yang berlimpah dan jaringan pergaulan berskala global.
Tantangan NU ke depan bukan semata-mata urusan ideologi keagamaan trans-nasional, yang memang selalu merecoki ketertiban dan keamanan setiap negara. Ada banyak ranah perjuangan lain yang membutuhkan dan menantikan peran dan kontribusi NU.
Dari sekian banyak kemungkinan tantangan masa depan, hal paling fundamental adalah kemampuan cabang-cabang istimewa NU ini membumi dengan dinamika sosial, kultural, politik, ekonomi, dan sains-teknologi di masing-masing negara. Seperti pepatah, “di mana kaki berpijak, di sana langit di junjung”. Dalam konteks inilah, NU bukan saja menjadi solusi bagi masalah dunia melainkan juga solusi bagi masing-masing negara tempatnya berada.
Untuk mengkordinir cabang-cabang istimewa di seluruh dunia itu, NU butuh pemimpin muda yang energik. Memiliki kekuatan spiritual, intelektual, dan fisikal yang berlimpah. Hal itu bisa kita jumpai pada pribadi generasi-generasi muda Nahdliyyin. Di samping kualitas spiritual dan intelektual, tetapi kualitas fisik juga penting.
Generasi muda dapat menjadi jawaban yang dibutuhkan. NU di bawah kepemimpinan generasi muda sangat tepat untuk masa depan yang menuntut energi ekstra, lebih-lebih mengenal kordinasi dan konsolidasi antar cabang, baik yang di Indonesia maupun di luar negeri. Dengan begitu dapat dibayangkan, NU memiliki dua dimensi utama: keseragaman dan keragaman.
Pada dimensi keseragaman, seluruh cabang NU mengusung ideologi yang sama; Islam rahmatan lil alamin dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sementara pada dimensi keragaman, NU betul-betul hadir membawa manfaat untuk menyelesaikan kompleksitas problem hidup manusia di muka bumi. Karena, apa program utama cabang NU di Indonesia bisa berbeda dengan program utama cabang istimewa di luar negeri.
Kemampuan mengkonsolidasi dan mengkordinir semacam itu akan berat apabila kepemimpinan NU masih berada di tangan generasi tua. Mereka yang sudah udzur karena usia, cukup menjadi suri tauladan dalam hikmah, kebijaksanaan hidup, serta simbol utama panutan. Sedangkan ranah-ranah taktis-strategis di seluruh dunia menuntut kepemimpinan yang lebih enerjik.
Pada muktamar yang akan datang, NU butuh pemimpin dari representasi generasi muda yang enerjik sekaligus berpandangan global. “Globe” artinya bola dunia. NU menggunakan simbol bola dunia. Berarti NU memang ditakdirkan berperan di tingkat global. Belum lagi kalau bicara awal mula NU didirikan untuk merespon isu keagamaan global saat itu, paham Wahhabisme, maka sudah jelas NU di takdirkan berskala global.
Selain generasi muda dibayangkan sebagai generasi enerjik, juga karena generasi muda dapat menjadi generasi penerus. Para penerus ini sangat dibuthkan, khususnya untuk memomong kaum milenial itu sendiri. Bagaimana pun, generasi milenial ini adalah betul-betul generasi baru, yang membawa kompleksitas permasalahannya sendiri.
Salah satu contohnya, generasi milenial disebut sebagai "digital natives"; penduduk asli era digital. Sedangkan generasi tua disebut "digital immigrants"; mereka yang bermigrasi ke alam digital. Sudah jelas, kemampuan dua jenis generasi ini berbeda sama sekali. Kita tidak bisa bernostalgia, dengan membayangkan masalah masa depan dapat dipecahkan dengan pengalaman masa lalu.
Selain pertimbangan masa depan, kita juga punya modal historis, di mana saat itu NU juga dipimpin kaum muda. Misalnya, ada Kiyai Wahid Hasyim mempimpin PBNU diumur 38 tahun, bahkan Kiyai Idham Cholid memimpin PBNU masih berumur 33 tahun, dan lainnya. Sementara hari ini, kita punya modal kader-kader potensial itu, misalnya Cak Imin (Gus Muhaimin), Gus Reza Lirboyo, Gus Kautsar Ploso, Gus Maman Imanul Haq al-Mizan, Gus Cholil Nafis, Gus Nusron Wahid, Gus Fahrur Rozi, Gus Muhammad Yusuf Chudlori.
Sedikit contoh, Profil Gus Yusuf Chudhory, Ia adalah putra kiai kharismatik, KH. Chaudhary, tempat Gus Dur dulu sempat mondok dan ngaji.
Gus Yusuf hari ini menjadi pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salafi Tegalrejo, Magelang, melanjutkan tradisi ayahandanya. Belum lagi kapasitasnya yang melek politik dan budaya; menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Kebangkitan Bangsa Jawa Tengah, Wakil Ketua PP-RMI-PBNU, rutin menggelar perhelatan seni budaya di Tegalrejo, Manajer club sepak bola dan berpartisipasi dalam berbagai Komunitas
Berbekal pertimbangan masa depan dan pengalaman sejarah masa lalu, kita tidak perlu ragu untuk melakukan "reformasi" di tubuh PBNU. Memberikan kesempatan dan sekaligus dukungan penuh akan kepemimpinan generasi muda. Belum lagi kita bicara betapa banyaknya generasi muda NU saat ini yang sudah 'alim, menguasai berbagai bidang keilmuan agama dan umum, berkiprah luas, banyak berkontribusi di Masyarakat, bahkan berpengalaman di dunia politik yang menjadi bekal utama mereka memimpin NU.
Alhasil, melapangkan jalan kepemimpinan bagi generasi muda di NU adalah tanggung jawab kaderisasi kaum sepuh. Kehadiran kaum muda ini sungguh sangat dinanti-nantikan. Bukan saja oleh warga nahdliyyin di Indonesia melainkan juga seluruh nadhliyyin di dunia. Kaum sepuh sudah tidak sepatutnya berebut/berambisi menjadi ketum PBNU, cukup menjadi Rais 'Am, Anggota Syuriah, atau Musytasyar saja. Maka, regenerasi di PBNU sebuah keharusan !. Wallahu a’lam bis shawab.
*_*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_