Welcome! Habib Luthfi dan Kiyai Sa’id, Solusi Kepemimpinan NU di Muktamar ke 34
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc.MA
TRIBUNNEWS.COM - Muktamar NU 34 di Lampung akan diselenggarakan pada Desember 2021. Dalam dua bulan lebih sedikit ke depan, jamaah Nahdliyyin akan memiliki pemimpin baru. Namun, waktu seakan bergulir lebih cepat, karena mobilitas pikiran dan kegiatan manusia jauh lebih progresif. Itu bisa dilihat dari persiapan setiap team sukses yang menjagokan figur ideal masing-masing.
Kita bisa ambil contoh kasus Pengurus Wilayah (PW) Jawa Timur, yang sudah mengeluarkan selebaran berisi dukungan terhadap pasangan calon Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai Ketua Tanfidziyah dan Kiyai Miftachul Akhyar sebagai Rais Amm Syuriyah. Namun, dua nama ini baru memenuhi harapan sebagian jamaah Nahdliyyin Jatim Khususnya.
Kebuntuan ini sangat dapat dimaklumi, karena kita semua sedang hidup dalam atmosfer demokratis. Satu cabang setara dengan cabang lainnya, satu wilayah setara dengan wilayah lainnya. Kebuntuan pun mengkristal. Semua orang gelisah, menantikan adanya secercah kearifan pemikiran dan kebijaksanaan yang mampu memecah kebuntuan.
Entah bagaimana caranya, tiba-tiba kiyai-kiyai sepuh mendorong Kiyai Said Aqil Siradj untuk kembali maju menjadi Ketum Tanfidziyah. Salah satu nama yang bisa disebut adalah Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya. Beliau sangat merestui Kiyai Said maju kembali. Pada awalnya, Kiyai Said tidak berkenan karena ingin memberikan kesempatan kepada generasi muda, sampai kemudian Habib Luthfi menyatakan siap mendampingi sebagai Rais Amm Syuriyah.
Tidak saja kiyai-kiyai sepuh, hari demi hari banyak pengurus di tingkat PC dan PW mulai menyatakan puas dan siap mendukung secara totalitas Kiyai Said-Habib Luthfi. Dua nama ini pun hadir sebagai pemikiran alternatif yang mendinginkan, menyejukkan, menenangkan. Gejolak dan kobaran di dada generasi muda Nahdliyyin seperti kami dan yang sepantaran, mulai reda.
Tentu saja, Muktamar masih dua bula lagi. Apapun ide dan siapapun nama yang dicalonkan tidak bisa disebut keputusan final. Setiap individu (kubu) dipersilahkan untuk mengujinya kembali. Termasuk merenungi kembali sejauhmana Kiyai Said dan Habib Luthfi bisa disebut sebagai pasangan paling ideal hingga saaat ini.
Bagi penulis, pandangan para kiyai sepuh dan pengurus cabang maupun wilayah tidak serta merta intuitif, berasaskan ketulusan dan kebersihan hati berkhidmah pada NU. Pastinya ada sisi-sisi rasional yang para kiyai sepuh tersebut ingin sampaikan.
Setelah sejauh ini menghikmati usulan para kiyai sepuh tersebut, penulis menemukan alasan-alasan rasional di baliknya. Para kiyai sepuh sangat arif biijaksana dalam menempatkan Kiyai Said di Tanfidziyah dan Habib Luthfi di Syuriyah. Walaupun, penulis sendiri sempat kebingungan, sebelum berpapasan dengan pemikiran Dr. Nadirsyah Hose, Ph.D (Gus Nadir).
Tulisannya Gus Nadir ini sangat mencerahkan, ketika membahas lima pilar tokoh NU, setidaknya membantu penulis memahami mengapa kiyai sepuh condong pada pasangan Kiyai Said dan Habib Luthfi. Bagi Gus Nadir, pilar-pilar ketokohan dalam NU bisa dipahami dari figur Waliyullah Syaikhona Kholil Bangkalan, figur ulama allamah dan karismatik Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari., dan figur penggerak organisasi Mbah Wahab Chasbullah.
Dengan merenungi tiga prinsip Gus Nadir ini, penulis mulai tercerahkan dan memahami mengapa para kiyai sepuh memunculkan nama Kiyai Said dan Habib Luthfi. Pertama, Habib Luthfi bukan semata-mata keturunan Rasulullah saw, yang mewarisi garis nasab dan darah daging Rasulullah saw. Habib Luthfi juga terpilih secara aklamasi sebagai pimpinan forum sufi dunia. Habib Luthfi adalah waliyullah yang kepemimpinannya diakui ulama dunia.
Membayangkan Rais ‘Amm Syuriyah dipimpin Habib Luthfi—atas restu para kiyai sepuh dan para pengurus dari tingkat cabang dan wilayah—membuat penulis berharap muktamar segera dimulai saja. Pada diri Habib Luthfi, terdapat segala kualitas dan kualifikasi, mulai dari statusnya sebagai darah daging Rasulullah saw., keluasan ilmu pengetahuannya, leadershipnya di tingkat internasional, hingga kewara’an akhlaknya.
Begitu pula saat kiyai sepuh dan para pengurus cabang maupun wilayah meminta Kiyai Said, agar kembali berkhidmah di kepengurusan Tanfidziyah. Penulis memahami pertimbangan rasional para kiyai sepuh dari sudut pandang profesionalitas. Dengan pengalaman di Tanfidziyah dua periode, memang benar beliau lebih baik melanjutkan program kerja yang sudah/sedang berjalan.
Pasangan nama Kiyai Said dan Habib Luthfi sejauh ini cukup memuaskan semua pihak, yang memanas akhir-akhir ini. Sejak nama Kiyai Said-Habib Luthfi muncul, tampaknya gejolak itu mulai reda. Penulis hanya bisa berdoa, semoga gejolak yang berkobar di antara sesama generasi muda Nahdliyyin tetap mereda seperti saat ini hingga muktamar nanti.
Seperti yang Gus Nadir sebutkan, pilar kelima dari ketokohan NU itu adalah Kiyai As’ad Syamsul Arifin. Beliau adalah simbol khidmah atau ketundukan seorang santri pada dawuh kiyai sepuh. Karenanya, kita semua sebagai santri muda sudah saatnya menjaga adab pada dawuh kiyai sepuh. Ketika para kiyai sepuh mengusulkan dan merestui pasangan Kiyai Said-Habib Luthfi, maka apa daya kita sebagai santri selain patuh dan berkhidmah pada para kiyai. Wallahu a’lam bis shawab.
* Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.