News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Menguak Pemikiran Ekonomi Abu Ubayd

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto ilustrasi.

Oleh: Kartika Nur Rakhman
Mahasiswa S2 Ekonomi Syariah Universitas Indonesia

TRIBUNNEWS.COM - Abu Ubaid adalah seorang ilmuwan Islam yang memiliki nama lengkap Abu Ubaid al Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al Harawi al Azadi al Baghdadi.

Beliau lahir di kota Herat, Provinsi Khurasan yang terletak di sebelah barat laut Afghanistan pada tahun 154 H / 770 M.

Di samping dikenal sebagai seorang ahli Bahasa Arab, Abu Ubayd adalah seorang ulama yang mendalami ilmu qira’at, tafsir, hadits dan ilmu fiqh.

Abu Ubayd pernah menjabat sebagai Qadi di Tartus selama 18 tahun dan kemudian menjadi wali di Khurasan karena kedekatannya dengan penguasa saat itu.

Abu Ubayd mengarang beberapa kitab yang masih bisa kita kaji hingga saat ini.

Disamping mengarang beberapa kitab agama seperti Gharib al-Hadist dan Al -Gharib al Mushannif, Abu Ubayd juga mengarang kitab yang membahas terkait ilmu ekonomi yang beliau beri judul kitab Al Amwal.

Dalam al Amwal, beliau tidak hanya fokus pada pembahasan satu jenis kekayaan saja, melainkan mencangkup semua jenis kekayaan yang dapat diperoleh.

Baik itu kekayaan yang berasal dari sektor pertanian, perdagangan ataupun sumber-sumber lainnya.

Kitab ini memaparkan kejelasan sumber serta kutipan dari rantaian informan yang relevan, baik dari sabda dan perbuatan Rasul.

Juga surat yang pernah dikirim Rasul dan pemerintahan khalifah sesudahnya yang ditujukan kepada para pejabat dan pemimpin musuh-musuh mereka.

Kitab ini juga mendokumentasikan perjanjian antara muslim dan non-muslim dengan baik dimana hal ini menjadi perhatian para intelektual muslim.

Kitab ini juga dainggap memberikan berbagai pemikiran dan gagasan yang besar, objektif dan cakupan subjek dalam pembahasan yang luas sesuai konteks zaman kekhalifahan Abbasiyah.

Abu Ubaid memfokuskan konsep keadilan sebagai landasan filosofis utama dalam filsafat perekonomian.

Tentunya tujuan utamanya adalah apabila filosofi tersebut di implementasikan ke berbagai praktik ekonomi maka akan membawa kepada pencapaian kesejahteraan dan keselarasan ekonomi maupun sosial masyarakat.

Keadilan dalam pandangannya adalah kesetaraan antara hak-hak individu, umum dan negara. Premisnya adalah jika kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan umum, maka yang harus di dahulukan adalah kepentingan umum itu sendiri.

Sehingga kepentingan umum merupakan kepentingan prioritas diatas segala kepentingan yang lain.

Dalam membahas sumber pendapatan dan keuangan Negara, Abu Ubaid sangat menentang gagasan tentang pendistribusian zakat yang harus dikelola secara merata terhadap yang berhak menerima zakat.

Dalam hal ini Abu Ubaid mengadopsi prinsip setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing.

Abu Ubaid mengkategorikan tiga kelompok berdasarkan sosial-ekonomi terkait status muzaki dan mustahik zakat. Kelompok pertama adalah golongan Aghniya atau orang kaya. Golongan ini adalah pihak yang harus mengeluarkan zakat.

Kelompok kedua adalah golongan menengah, yang mana golongan ini bukanlah sebagai mustahik maupun muzaki.

Kelompok yang ketiga adalah golongan mustahik, yang berhak menerima zakat.

Abu Ubaid berpendapat perlunya mengimplementasikan peran keadilan pada tatanan administrasi masyarakat. Kaum Badui atau masyarakat desa menurut Abu Ubayd tidak berhak mendapat bagian dari manfaat pendapatan fa’i seperti kaum urban.

Hal ini disebabkan tidak adanya keikutsertaan kaum Badui dalam melaksanakan kewajiban pemerintahan.

Meskipun demikian, pada kesempatan tertentu kaum Badui dapat pula mengklaim pendapatan fa’i. Adapun yang menjadi kelebihan masyarakat kota menurut Abu Ubayd adalah pihak yang ikut serta mengelola pemerintahan yang berkaitan dengan administrasi negara.

Masyarakat kota juga dianggap paling bertanggung jawab menjaga dan memperkokoh persatuan dan kesatuan pertahanan negara melalui pengorbanan jiwa dan raga bahkan harta mereka sekalipun.

Selanjutnya masyarakat kota pada saat itu menyelenggarakan sistem pendidikan al-Qur’an dan Al-Sunnah serta menyebarkan keunggulan kualitas isinya.

Abu Ubayd juga menganggap masyarakat kota mengedepankan nilai-nilai partisipati demi terwujudnya keselarasan sosial melalui pemberlakuan hudud. Terakhir, Abu Ubayd berpendapat bahwa masyarakat kota menjadi suri tauladan dalam hal universalisme umat.

Dalam kitab al Amwal juga dibahas terkait kepemilikan dan kebijakan di sektor pertanian. Kebijakan pertama disebut dengan Iqtha’, yaitu lahan yang diamanahkan oleh kepala negara untuk dikuasai dan dikelola masyarakat dengan mengabaikan kepemilikan masyarakat yang lain. Kebijakannya adalah mengambil kembali tanah yang diberikan, akibat ditinggalkan pemiliknya.

Kebijakan kedua yaitu Ihya al-Mawat, yaitu mengembalikan fungsi tanah-tanah yang tidak dikelola, tidak terairi,dan tidak menghasilkan manfaat.

Dalam situasi seperti ini, maka negara boleh mengambil alih tanah tersebut dengan tujuan dapat dipergunakan oleh kepentingan umum dalam rangka memberikan kemaslahatan kepada masyarakat.

Disamping kedua kebijakan lahan pertanian di atas, kitab al Amwal juga membahas tentang Hima atau perlindungan. Hima didefinsikan sebagai lahan kosong yang digunakan sebagai tempat mengembala ternak. Wilayah hima ini dilindungi oleh negara serta dipergunakan untuk kemaslahatan masyarakat.

Menurut Abu Ubaid terdapat dua fungsi uang yaitu uang sebagai standar dari nilai (standard of exchange value) dan uang sebagai media pertukaran (medium of exchange).

Dengan demikian, Abu Ubaid mendukung teori ekonomi tentang kedudukan uang logam yang merujuk kepada nilai emas dan perak yang sudah menjadi ketentuan umum dibanding dengan komoditas yang lain.

Selain itu, Abu Ubaid secara tidak langsung mengakui adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value) ketika adanya wajib zakat pada jumlah tabungan minimum.
Kitab al Amwal juga membahas terkait perdangan eksport dan import.

Menurut Abu Ubayd tidak ada nol tarif pada perdagangan Internasional. Pendapat ini didasarkan Abu Ubayd pada pendapat dan Ijma sahabat pada masa Umar ibn Khattab ra.

Pada saat itu Khalifah Umar ibn Khattab menetapkan cukai (usyur) yang berbeda-beda berdasarkan kelompok yang melakukan perdagangan, maliputi ahli harbi sebesar 10 persen, ahli dzimmah sebesar 5 persen dan kaum Muslimin sebesar 2,5 persen.

Dalam komoditas berupa bahan makanan pokok, Abu Ubaid berpendapat bahwa cukai minyak dan gandum adalah sebesar 5 persen sehingga barang impor berupa makanan banyak tersedia di Madinah sebagai pusat peradaban dan pemerintahan.

Abu Ubaid juga berpendapat bahwa tidak semua barang dagangan dipungut cukainya.

Ada batasan tertentu dimana kalau kurang dari batas tertentu, maka cukai tidak dipungut melainkan di catat. Apabila sudah memenuhi batasan tersebut maka barang dagangan tersebut harus dikenakan cukai.

Demikianlah sekelumit terkait pandangan ekonomi Abu Ubayd yang bisa dikaji dalam konteks masa kini.

Pandangan ekonomi Abu Ubayd yang dituliskan dalam kitab al Amwal ini adalah gagasan yang beliau berikan dalam menjalankan tugasnya di struktur pemerintahan saat itu.

Beberapa pandangan ekonominya masih relevan hingga saat ini, sementara pandangan lainnya membutuhkan penyesuaian dikarenakan perbedaan situasi dan kondisi masa kini.

Meskipun demikian pandangan-pandangan ekonomi ilmuwan muslim klasik seperti halnya Abu Ubayd ini memiliki peran penting dalam meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam yang saat ini terus berkembang.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini