News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

'Quo Vadis' Sistem Peradilan Mahkamah Pelayaran

Editor: Toni Bramantoro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Oleh : Petrus Bramandaru

Seperti kita ketahui bersama Indonesia merupakan Negara maritim sehingga tranportasi laut mempunyai peranan yang penting dalam menghubungkan kepulauan nusantara serta menggerakkan perekonomian.

Transportasi laut atau sekarang kita kenal dengan Tol Laut berfungsi untuk melayani mobilitas orang, barang dan jasa yang menghubungkan kegiatan ekonomi antar pulau dan hubungan internasioanal.

Mengingat begitu pentingnya peran tranportasi laut, maka segala kegiatan yang berkaitan dengan transportasi laut pun perlu diatur oleh Negara, agar penyelenggaraan kegiatan transportasi laut dapat dilaksanakan dengan tertib dan melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat didalamnya.

Sangat disayangkan kondisi transportasi laut dalam negeri, baik itu sarana maupun prasarana keselamatan pelayaran hingga saat ini kurang atau tidak mendukung tertibnya kelancaran angkutan laut di Tanah air.

Disamping ketertiban pelayanan dan pengoperasian sarana dan prasarana relatif masih rendah, juga banyak faktor yang melingkupinya, seperti lemahnya kepedulian dari pemilik kapal dan perusahaan dalam menerapkan sistem keselamatan yang efektif serta implementasi dilapangan, kelaiklautan kapal yang berorientasi pada sertifikasi yang notabene tidak didukung dengan pemeriksaan yang seksama, juga pengawasan yang dilaksanakan oleh pemerintah terhadap pelaksanaan dari persyaratan – persyaratan keselamatan pelayaran tidak konsisten.

Hal tersebut diperburuk lagi dengan tingkat keamanan di pelabuhan, di kapal, dan di laut yang seharusnya sesuai ketentuan internasional, yakni dengan penerapan International Ship and Port Security Code (“ISPS Code”), namun dalam kenyataannya belum sepenuhnya terwujud.

Kecelakaaan-kecelakaaan kapal yang terjadi umumnya menunjukkan tidak ditaatinya konvensi pelayaran baik internasional maupun nasional oleh perusahaan pelayaran di dalam negeri, terutama, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan peraturan peraturan dari IMO.

Kita tahu bersama angka kecelakaan kapal cukup tinggi, akan tetapi penanganan insiden kecelakaan kapal pada umumnya masih bersifat administrative dan dokumentatif yang tidak menyelesaikan akar permasalahan keselamatan pelayaran.

Sebagai Negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia belum memiliki Mahkamah Maritim atau Admiralty Court seperti Negara-negara lain. Mahkamah Pelayaran yang ada saat ini hanya dapat memberikan penindakan disiplin.

Penindakan ini pun hanya terbatas kepada nahkoda. Akibatnya, saat terjadi kecelakaan, hakim dan jaksa yang menangani perkara tersebut tidak terlalu memahami masalah yang menjadi penyebabnya.

Saat ini, fungsi dan tugas Mahkamah Pelayaran diatur dalam beberapa peraturan terpisah, yakni:
a. Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
b. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan; dan
c. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal juncto Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998.

Mahkamah Pelayaran hanyalah sebuah lembaga pemerintah yang ditunjuk melakukan pemeriksaan terhadap kecelakaan kapal.

Di tinjau dari aspek kelembagaannya Mahkamah Pelayaran berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan. Hal ini ditegaskan dalam suatu Keputusan Menteri, yakni Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: PM/U/1974 tanggal 6 Agustus 1974 yang menyatakan dalam Pasal 1 sebagai berikut: “Bahwa Mahkamah Pelayaran adalah Suatu Badan peradilan Administratif di Lingkungan Kementerian Perhubungan yang berdiri sendiri sesuai dengan Peraturan perundang-undangan.

Menurut Chairijah Mahkamah Pelayaran di Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang bertanggungjawab kepada Menteri Perhubungan dan bukan termasuk dalam kekuasaan kehakiman sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.

Adapun kewenangan yang di miliki adalah melakukan pemeriksaaan pendahuluan oleh Syahbandar dalam rangka penerapan standar profesi kepelautan terhadap nahkoda dan/ atau perwira kapal atas terjadinya kecelakaan kapal.

Sedangkan menurut Etty R. Agoes dalam Laporan Akhir Tim Analisis Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan tentang Yuridiksi dan Kompetensi Mahkamah Pelayaran, "Bahwa Mahkamah Pelayaran hanya berwenang melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal yang bersifat administratif dalam rangka penegakan aturan profesi kepelautan dan tidak memiliki yuridiksi memutus perkara yang berkaitan dengan aspek keperdataan atau aspek pidana.

Chandra Motik mengatakan Bahwa Mahkamah Pelayaran adalah Lembaga yang memeriksa semua kecelakaan kapal di laut untuk dapat menentukan penyebab kecelakaan, terutama bilamana ada dugaan kuat bahwa kecelakaan iitu (dapat disebabkan kesalahan oleh Nahkoda atau perwira yang memimpin kapal).

Dengan kedudukannya seperti saat ini Mahkamah Pelayaran merupakan bagian dari Kementerian Perhubungan, atau dengan kata lain sebagai salah satu bagian dari Lembaga Eksekutif, tentunya Mahkamah Pelayaran sulit untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah lembaga peradilan.

Mahkamah Pelayaran berwenang melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengambil keputusan atas kecelakaan kapal, antara lain menjatuhkan sanksi berupa hukuman/tindakan administratif yang berkaitan dengan profesi kepelautan, di dalam kasus-kasus:
a. kapal tenggelam;
b. kapal terbakar;
c. kapal tubrukan yang mengakibatkan kerusakan berat;
d. kecelakaan kapal yang menyebabkan terancamnya jiwa manusia dan kerugian harta benda; dan
e. kapal kandas dan rusak berat.

Dalam Peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang kecelakaan Kapal dinyatakan tugas mahkamah Pelayaran, sebagai berikut:
1. Mempelajari sebab-sebab terjadi kecelakaan kapal untuk menentukan apakah ada kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standard professional kepelautan yang dilakukan Nahkoda atau pemimpin kapal dan awak kapal lainnya.

2. Menetapkan hukuman administratif pada Nakhoda atau pemimpin kapal dan/atau awak kapal lainnya yang memiliki ijazah yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia yang melakukan perbuatan kekeliruan atau kelalaian dalam menjalankan standard professional kepelautan.

Terkait hal-hal tersebut, Mahkamah Pelayaran hanya memberikan sanksi administratif yang dapat berupa teguran tertulis, penangguhan sementara ijazah pihak yang bersalah, setelah melalui proses persidangan di muka Mahkamah termasuk tata cara pembuktian dan kesaksian.

Jika kita mencermati akan aturan-aturan yang melandasi Mahkamah Pelayaran, jelas bahwa Mahkamah pelayaran saat ini bukan merupakan badan peradilan, dan kedudukannya pun tidak dalam lingkungan Peradilan Umum.

Dengan demikian, sesungguhnya Mahkamah Pelayaran tidak memiliki yuridiksi untuk memutus perkara yang berkaitan dengan aspek keperdataan (seperti tanggung jawab pengangkut, ganti rugi atau kompensasi ekonomi) atau aspek pidana, sekalipun timbul dalam kaitan dengan kecelakaan kapal, karena masalah-masalah ini merupakan yuridiksi Peradilan Umum.

Oleh sebab itu, yuridiksi dan kompetensi Mahkamah Pelayaran belum dapat disetarakan dengan sebuah lembaga peradilan maritim, atau yang lazim disebut Mahkamah Maritim atau Admiralty Court.

Untuk itu, di masa sekarang mau tidak mau dan harus dipikirkan mengenai keberadaan sebuah lembaga peradilan maritim yang memiliki yuridiksi dan kompetensi yang luas, seperti yang dimiliki oleh Mahkamah Maritim di Negara-negara lain.

Lembaga peradilan maritim yang memiliki yuridiksi yang mencakup semua aspek hukum yang ditimbulkan dari kegiatan pelayaran, juga tidak terbatas hanya persoalan yang sifatnya administrasi profesi kepelautan dan teknis pelayaran melainkan juga bisa menangani masalah-masalah keperdataan, pidana, ekinomi, lingkungan dan juga administratif dengan kata lain dapat mengadili suatu perbuatan melawan hukum yang terjadi di laut.

Pembentukan institusi peradilan maritim ini dianggap sangat mendesak mengingat Presiden Jokowi sudah mencanangkan negara kita patut menjadi Poros maritim dunia.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, Mahkamah Pelayaran di Indonesia pada prinsipnya berpedoman kepada norma hukum yang terdapat pada Pasal 250 sampai dengan Pasal 255 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Mahkamah Pelayaran tidak berada di dalam Sistem Peradilan Indonesia, Mahkamah Pelayaran hanyalah sebuah Lembaga Pemerintah yang di tunjuk untuk melakukan pemeriksaan terhadap kecelakaan kapal.

Sedangkan jika ditinjau dari aspek kelembagaannnya Mahkamah Pelayaran berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan. Dengan kedudukannya seperti ini Mahkamah Pelayaran merupakan bagian dari Kementerian Perhubungan, atau dengan kata lain sebagai salah satu bagian dari Lembaga Eksekutif, sehingga Mahkamah Pelayaran sangat sulit untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah lembaga peradilan.

Mahkamah pelayaran di Indonesia secara yuridis tidak memungkinkan untuk di atur hanya dengan 5 Pasal. Sementara permasalahan yang di hadapi sangat kompleks, sehingga di perlukan suatu Mahkamah Maritim yang mumpuni yang diatur oleh Peraturan perundang undangan tersendiri yang mengatur khusus tentang Mahkamah Maritim seperti adanya Peraturan perundang-undangan dalam sistem peradilan di Indonesia lainnya.

Semoga apa yang dicita - citakan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia dapat terwujud.

*Petrus Bramandaru SP., SH., MH. Advokat praktisi hukum, pemerhati dunia Kemaritiman, Concern Hukum Tata Negara, Ketua Ikatan Alumni Magister Hukum Universitas Bung Karno, tulisan tersebut diatas disarikan dari tugas akhir Tesis penulis.

Petrus Bramandaru SP., SH., MH.
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini