Saya: “Iya, pak. Dulu saya beli lumayan murah karena saat itu banyak sekali barang seperti ini muncul di pasar.”
Pak Sis: “Yah begitulah.. Ini kan sebetulnya arsip milik negara yang tidak bisa diperjual belikan. Anehnya, kok bisa ke luar dari gudang dan dijual bebas di sana sini.”
Saya: “Mungkin di gudangnya banyak tikus, pak. Jadi ada beberapa tuyul berinsiatif bahwa arsip-arsipnya lebih baik disimpan oleh para filatelis. Hahahaha”
Pak Sis: “Bukan hanya artwork seperti ini lho yang keluar. Sebelum keluar kebijakan bahwa prangko bisa digunakan selamanya, prangko-prangko yang habis masa jualnya kan kita tarik kembali ke gudang sembari menunggu waktu pemusnahan.
Nah, ketika akan kita musnahkan, tiba-tiba barangnya sudah tidak ada. Pernah juga barangnya ada, lalu kita angkut ke tempat pemusnahan dan beberapa waktu kemudian ternyata barangnya justru muncul di lapak pedagang.”
Saya: “Itu kalau istilah orang angkutan, ‘sopirnya be*** di jalan’. Hahahahaha.”
Pak Sis: “Hahaha, betul.. kemungkinan memang ada permainan di sana sini yang di luar pengawasan dan kendali petugas pos. Hal-hal seperti ini sudah kita berantas habis-habisan semenjak saya ditugaskan di sini.”
Gilang: “Menarik ini, pak. Beneran nih pak saya tidak boleh ke gudang ?”
Baca juga: Apa Kabarnya Filatelis Muda Indonesia?
Pak Sis: “Waduh.. ya sudah, begini saja.. kita ke gudang, tapi jangan masuk ke ruangannya ya. Kita lihat-lihat dari luar saja.”
Gilang: “Nah itu terdengar lebih baik, pak.”
Kami pun berjalan menuju gudang. Saat itu pintu gudang terbuka lebar dan terlihat ada lorong dengan besi seperti rel kereta kecil di lantainya.
Beberapa orang terlihat berseliweran di dalam. Saya mengambil beberapa foto dan melanjutkan mengobrol dengan Pak Sis.
Gilang: “Ini ada audit tapi pintunya dibuka ?”
Pak Sis: “Di dalam itu pengap sekali kalau pintunya tidak dibuka.”