Oleh: Moch S Hendrowijono *)
TRIBUNNEWS.COM -- Di era sekarang, pembangunan dan perawatan menara-menara BTS (base transceiver station) sudah tidak relevan lagi menjadi domain bisnis operator telekomunikasi. Sangat berbeda dengan ketika industri seluler hadir pertama kali sampai setidaknya 7 – 10 tahun lalu, ketika operator masih melakukan ekspansi jaringan nirkabel.
Industri telekomunikasi tidak mungkin lepas dari keberadaan menara tempat meletakkan perangkat BTS dan perangkat penghubung lain seperti dari BTS ke MSC. Karena itu, dulu epemilikan menara sering dianggap sebagai bagian kekuatan suatu operator dan syarat mutlak, karena perannya yang sangat penting.
Namun hari ini, situasinya telah berubah. Kecuali dalam peranan melakukan kewajiban layanan universal (USO) bersama pemerintah, pembangunan BTS baru nyaris tidak signifikan mendukung skala bisnis operator. Kendati BTS merupakan infrastruktur mutlak dalam pelaksanaan telekomunikasi (termasuk tren saat ini yang berbasis digital), ada faktor lain yang perlu diprioritaskan operator.
Baca juga: MTEL Akan Akuisisi 3.000 Menara Telekomunikasi di 2022
Namun memelihara menara BTS yang jumlahnya puluhan ribu bisa jadi hanya akan menjadi beban di saat operator harus mencari jalan keluar untuk melipatgandakan pendapatan yang mulai menurun dari berbagai layanan.
Sekadar informasi saja, biaya pembangunan menara, harga materialnya sekitar Rp 500 juta, ditambah sewa lahan yang biasanya berlaku 10 tahun sekitar Rp 400 juta, biaya IMB dan ongkos-ongkos lainnya sekitar Rp 200 juta. Itu di kawasan pulau Jawa. Di luar Jawa biasa bsa membengkak lagi, ditambah biaya pengiriman logistik dan rupa-rupa lainnya.
Kemudian untuk biaya operasional bulanan juga cukup tinggi. Paling tidak operator harus mengeluarkan lagi Rp 200 sampai Rp 300 jutaan, termasuk gaji. Dan, seringkali harus menyiapkan cadangan biaya tak terduga guna mengantisipasi jika terjadi persoalan-persoalan dengan masyarakat setempat.
Jadi selain biaya yang harus dikeluarkan besar, juga bisa mengganggu fokus operator untuk menjalankan bisnis utamanya. Hari ini dan ke depan core business operator adalah layanan digital. Walaupun voice dan SMS masih cukup memberikan pendapatan yang cukup tinggi. Ditengarai pendapatan yang sesungguhnya berbasis 2G ini masih menopang 10 persen dari seluruh pendapatan setiap tahun, dengan persentase yang terus menurun.
Di sisi lain, sebuah menara tetaplah sebuah aset. Nilai per unit menara yang sudah berdiri sekitar Rp 1,5 miliar hingga Rp 1,7 miliar. Sehingga dapat dibayangkan jika sebuah operator telko memiliki 10.000 menara BTS, bila mereka jual maka akan memperoleh dana segar sebesar Rp 17 triliun.
Menjual menara BTS ke pihak lain sekaligus dalam rangka efisiensi biaya operasional. Sehingga dapat dipahami mengapa operator memilih menjual ke pihak lain. Opsi yang lebih masuk akal adalah menyewa dan secara finansial jauh lebih aman.
Biaya sewa per menara BTS per tahun sekitar antara Rp 100 juta sampai Rp 120 juta. Tergantung dari jenis BTS yang disediakan. Dengan mengeluarkan biaya operasional sebesar tersebut, maka menjadi jauh lebih efisien. Tentu saja, tidak terganggu oleh biaya-biaya lain yang harus disiapkan sebagai cadangan.
Belum lagi dengan faktor sosial yang kerap kali dijadikan sebagai pemantik faktor keamanan. Mengurusi soal-soal non teknis seringkali jauh lebih merepotkan dan celakanya terjadi berulangkali.
Baca juga: Dukung Ekonomi Digital, Mitratel Bangun 1.500 Menara 4G di Desa Non 3T
Bagi operator seperti Telkomsel di mana induk perusahaannya, PT Telkom juga memiliki anak perusahaan pengelolaan menara BTS ibarat mengalihkan “mainan” mereka ke saudara sendiri. Aset tetap milik dimiliki sang induk (yang dikelola oleh anaknya) sementara anak lainnya fokus ke bisnis utama.
Telkomsel melanjutkan pelepasan 6.000 menara ke “saudaranya”, PT Dayamitra Telekomunikasi atau Mitratel. Hingga total sudah 16.050 menara pindah tangan ke Mitratel yang dimulai sejak 2020.