Oleh: Hafif Assaf
TRIBUNNEWS.COM - Perhelatan The 3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022 (IOG 2022) di Nusa Dua, Bali, telah selesai diselenggarakan pada Jumat (25/11/2022).
Acara yang dimulai pada Rabu (23/11/2022) itu mengangkat tema "Boosting Investment & Adapting Energy Transisition Through Stronger Collaboration".
Dalam sambutannya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menekankan kalau tema IOG 2022 selaras dengan salah satu kesepakatan dalam KTT G20, yaitu pentingnya ketahanan energi dan melakukan segala upaya menuju transisi energi yang berkelanjutan.
Dia pun memastikan pemerintah mendukung visi sektor hulu migas mencapai target produksi 1 juta barel minyak per hari di 2030.
Dukungan-dukungan itu hadir dalam bentuk insentif fiskal kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dan lapangan-lapangan tertentu dalam rangka meningkatkan produksi.
Baca juga: Meski Harga Minyak Mentah Tinggi, Para Investor Lebih Butuh Revisi UU Migas
Hasil konkret pun tergambar saat hari terakhir IOG 2022 yang dihelat Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Terdapat 28 kesepakatan komersial antara lembaga itu dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang berpotensi menghasilkan pendapatan negara 2,3 miliar dolar AS atau setara Rp 36 triliun.
Catatan lain yang menarik dari IOG 2022 adalah dorongan para pihak terkait revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Salah satunya via Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto yang mengatakan kalau revisi beleid itu sangat penting sehingga tahun depan diharapkan proses tersebut telah tuntas.
Namun kenyataannya, pemerintah, DPR RI, dan DPD RI, belum menjadikan revisi UU Migas sebagai bagian dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2023.
Lain halnya, RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas tahun depan.
Terlepas dari dinamika yang ada di parlemen, sebenarnya seberapa krusial revisi UU Migas?
Kemudian bagaimana relevansinya dengan target pemerintah mencapai target produksi 1 juta barel per hari di 2030?
Kilas balik
Tatkala hendak menulis terkait topik ini, tiba-tiba penulis teringat salah satu artikel yang dipublikasikan The Economist pada 6 Mei 2017. Ketika itu, The Economist mempublikasikan artikel berjudul 'The world’s most valuable resource is no longer oil, but data'.
Artikel itu sama sekali tidak keliru karena didasari oleh riset dan analisis yang solid. Kendati demikian, hingga saat ini, harus diakui kalau minyak masih menjadi salah satu komoditas utama dalam percaturan perekonomian di dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Bicara soal minyak, terdapat sebuah UU yang masih menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan di tanah air yaitu UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Peraturan itu merupakan pengganti UU Nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 15 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Migas Negara yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan migas.
UU itu menjadi landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan atas penyelenggaraan pengusahaan migas di Indonesia.
Asas dan tujuan UU tersebut pun mulia, yaitu agar penyelenggaraan kegiatan usaha migas berjalan efisien, menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional serta meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional.
Namun, sebuah peristiwa monumental terjadi pada 13 November 2012. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan sebagian gugatan sejumlah tokoh terhadap UU Migas. Dalam putusan bernomor 36/PUU-X/2012, Ketua MK Mahfud MD menyatakan kalau keberadaan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas bertentangan dengan semangat UUD 1945.
Setelah itu, pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas. SKK Migas mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama (KKS).
Namun, setelah 9 tahun berlalu, situasi yang dihadapi oleh SKK Migas menurut hemat penulis perlu dicarikan jalan keluar. SKK Migas menghadapi begitu banyak tantangan dalam mewujudkan tata kelola industri demi ketahanan energi nasional.
Yang utama adalah status SKK Migas sebagai lembaga sementara. Ini tidak lepas dari posisi SKK Migas yang hanya diatur oleh aturan setingkat peraturan presiden.
Untuk itu, mau tidak mau, dasar hukum kelembagaan permanen SKK Migas harus diatur kembali di dalam aturan setingkat UU. Sejatinya pada tahun 2019, sudah mengemuka di berbagai media keinginan DPR mengatur SKK Migas dalam revisi UU Migas.
Salah satu wujudnya adalah Badan Usaha Khusus Migas di mana lembaga itu melakukan kegiatan usaha hulu migas dengan modal dan kekayaan dimiliki oleh negara. Pemerintah pada saat itu, menyampaikan bahwa SKK Migas akan dapat memiliki participating interest atas aset-aset hulu migas di Indonesia, walaupun hanya sebatas sebagai mitra.
Oleh karena itu, penulis menilai pemerintah dan DPR harus bersama-sama berkomitmen menjadikan SKK Migas sebagai lembaga dengan dasar hukum setingkat UU, bukan hanya lembaga sementara.
Target besar
Apabila status SKK Migas sudah jelas, tidak lagi lembaga sementara, penulis menilai target produksi minyak 1 juta barel per hari di 2030 yang kerap kali digaungkan pemerintah dapat lebih feasible dan holistik.
Oleh karena itu, SKK Migas yang permanen menjadi sebuah keniscayaan. Ditambah lagi fakta kalau eksplorasi potensi-potensi sumur minyak yang baru dapat terancam mandek seiring tren transisi energi menuju energi baru dan energi terbarukan.
Berdasarkan data dari SKK Migas (http://www.skkmigas.go.id), hingga triwulan III-2022, produksi minyak sudah mencapai 613 ribu barel minyak per hari, sedangkan lifting minyak mencapai 610 BOPD.
Sebuah capaian yang tetap patut diapresiasi di tengah berbagai kendala seperti unplanned shutdown hingga penurunan yang terjadi secara alamiah.
Selain status SKK Migas, target produksi minyak 1 juta barel per hari bisa tercapai apabila insentif-insentif yang dijanjikan pemerintah dapat tereksekusi dengan baik di mana tentu dibutuhkan sinergi dengan institusi-institusi lainnya. Misalnya dari sisi insentif fiskal berupa pengurangan pajak-pajak tidak langsung hingga 100 persen.
Pada akhirnya, penulis hendak menyampaikan kalau revisi UU Migas begitu krusial segera diselesaikan.
Tidak hanya demi status SKK Migas semata, melainkan juga demi mewujudkan target produksi minyak 1 juta barel per hari yang berpotensi menghadirkan berbagai aspek positif bagi perekonomian negara. Hal ini juga sejalan dengan semangat kolaborasi yang menjadi titik tekan dalam tema acara IOG 2022.
* Hafif Assaf: Government Affairs Professional dan Pemerhati Kebijakan Publik