Sebaliknya, FS seakan siap bertanggung jawab asalkan Eliezer juga dikenakan tanggung jawab yang setara. Tiji tibeh.
Mati bareng.
Ini strategi yang "lebih baik" karena Eliezer masih ada sehingga memungkinkan bagi dilakukannya pengujian di ruang sidang.
Berlanjut sekarang FS juga berperkara di PTUN. Kelak, saya perkirakan, FS juga akan mengajukan banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Sepintas, lewat semua itu, FS terkesan sebagai sosok yang gigih.
Tapi FS semestinya waspada bahkan khawatir bahwa total attacking football yang kini dia mainkan justru bisa berdampak kontraproduktif.
Pertama, hakim akan memahami serangkaian manuver FS itu sebagai cerminan seorang terdakwa yang tidak menyesali perbuatannya.
Ini, sekali lagi, menyediakan justifikasi bagi hakim untuk memperberat sanksi pidana jika FS divonis bersalah.
Kedua, manuver hukum FS dapat menginspirasi para mantan bawahannya yang tersangkut obstruction of justice.
Konkretnya, bisa saja mereka nantinya mengajukan gugatan ganti rugi kepada FS.
Ganti rugi karena FS dianggap telah merusak bahkan menghancurkan karir mereka selaku personel polisi. Jadi, inilah cara para mantan anak buah FS menghukum langsung bekas atasan mereka.
Bayangkan, betapa besarnya ganti rugi yang harus FS gelontorkan apabila gugatan perdata dari sekian banyak eks bawahannya itu dikabulkan hakim.
Sisi lain, saya teringat perkataan tokoh psikologi Alfred Adler.
Bahwa di balik perilaku yang tampak superperkasa justru ada kerapuhan luar biasa.