News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Polisi Tembak Polisi

Dua Strategi Perlawanan Ferdy Sambo

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel dan Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.

Oleh: Reza Indragiri Amriel
Anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan Poltekip

TRIBUNNEWS.COM -  Awalnya saya melihat FS (Ferdy Sambo) ini terkesan tidak akan melakukan perlawanan ekstra.

Ala kadarnya saja.

Tapi kemudian secara sistematis dia kembangkan dua strategi perlawanan utama.

Pertama, atribusi ekternal.

Yaitu menyalahkan Yosua sebagai biang kerok yang sesungguhnya, yang kemudian dibalas FS dengan melakukan (dakwaan) pembunuhan berencana.

Kedua, ironi viktimisasi.

Yakni, FS dan PC geser posisi mereka bahwa mereka sejatinya adalah korban, korban yang melakukan pembelaan diri.

Heroik, ya.

Baca juga: Ferdy Sambo Berubah Pikiran, Cabut Lagi Gugatan kepada Presiden Jokowi dan Kapolri

Tapi seiring perjalanan waktu, FS tampaknya sadar bahwa dua strategi di atas akan patah dengan sendirinya karena klaim tentang pemerkosaan tidak akan pernah menjadi fakta hukum.

Justru sebaliknya dua strategi di atas malah seolah memasok alasan kepada hakim untuk memberatkan hukuman sekiranya FS nanti divonis bersalah.

Mutakhir dikembangkan strategi ketiga.

Yaitu diffusion of responsibility.

Artinya, FS menolak bertanggung jawab sendirian karena toh ada Eliezer di situ.

Sebaliknya, FS seakan siap bertanggung jawab asalkan Eliezer juga dikenakan tanggung jawab yang setara. Tiji tibeh.

Mati bareng.

Ini strategi yang "lebih baik" karena Eliezer masih ada sehingga memungkinkan bagi dilakukannya pengujian di ruang sidang.

Berlanjut sekarang FS juga berperkara di PTUN. Kelak, saya perkirakan, FS juga akan mengajukan banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

Sepintas, lewat semua itu, FS terkesan sebagai sosok yang gigih.

Tapi FS semestinya waspada bahkan khawatir bahwa total attacking football yang kini dia mainkan justru bisa berdampak kontraproduktif.

Pertama, hakim akan memahami serangkaian manuver FS itu sebagai cerminan seorang terdakwa yang tidak menyesali perbuatannya.

Ini, sekali lagi, menyediakan justifikasi bagi hakim untuk memperberat sanksi pidana jika FS divonis bersalah.

Kedua, manuver hukum FS dapat menginspirasi para mantan bawahannya yang tersangkut obstruction of justice.

Konkretnya, bisa saja mereka nantinya mengajukan gugatan ganti rugi kepada FS.

Ganti rugi karena FS dianggap telah merusak bahkan menghancurkan karir mereka selaku personel polisi. Jadi, inilah cara para mantan anak buah FS menghukum langsung bekas atasan mereka.

Bayangkan, betapa besarnya ganti rugi yang harus FS gelontorkan apabila gugatan perdata dari sekian banyak eks bawahannya itu dikabulkan hakim.

Sisi lain, saya teringat perkataan tokoh psikologi Alfred Adler.

Bahwa di balik perilaku yang tampak superperkasa justru ada kerapuhan luar biasa.

Jadi, saya mencoba berempati.

Tidak tertutup kemungkinan, walau terlihat pantang menyerah dengan melakukan perlawanan total, FS ini sedang sangat tertekan batinnya.

Dengan asumsi seperti itu, saya ingin mewanti-wanti teman-teman di Kepolisian agar menjaga FS sebaik-baiknya. Jangan sampai dia melakukan tindakan fatal terhadap dirinya sendiri.

Jangan lupa, berdasarkan penelitian prevalensi orang yang mengakhiri hidup sendiri atau bunuh diri secara persentase di kepolisian lebih tinggi dibanding masyarakat umum.

Catatan Redaksi

Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.

Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan.

Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.

Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.

Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.

Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.

Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.

Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini