Tanzimat, Awal Mula Keruntuhan Turki Usmani
Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Salah satu bahasan yang penulis sampaikan kepada santri Bina Insan Mulia di Bosphorus Terrace Restaurant Turki adalah tentang keruntuhan Turki Usmani, Kekaisaran Turki Usmani menuju keruntuhannya tidak lepas dari peristiwa Tanzimât Fermânı tahun 1839.
Ini adalah program reorganisasi Kekaisaran Turki Usmani pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Majid. Program Tanzimat ini melahirkan wajib militer yang cukup modern, reformasi sistem perbankan, dekriminalisasi homoseksualitas, dan penggantian hukum agama dengan hukum sekuler.
Sultan Abdul Majid melakukan modernisasi, seperti memberikan hak paten kepada seorang penemu asal Amerika Samuel Morse untuk membangun telegraf di Turki tahun 1847.
Sebenarnya, Sultan Abdul Majid sendiri sedang mencoba untuk melakukan sesuatu yang betul-betul baru dan belum pernah terjadi sepanjang sejarah Turki Usmani (Yakup Bektas, The sultan's messenger: Cultural constructions of ottoman telegraphy, 1847–1880, 2000: 669–696).
Baca juga: Era Kebangkitan Turki Usmani dan Kejayaan Islam Global
Puncak gerakan reformasi Tanzimat ini terjadi pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II (1842-1918) pada tahun 1876, ketika diterbitkannya konstitusi pertama yang disebut Kanûn-u Esâsî.
Walaupun usia kebijakan ini sangat singkat, yakni hanya 2 tahun, sebelum ditunda oleh Sultan Abdul Hamid II sendiri, tetapi konstitusi ini berdampak besar bagi generasi Turki selanjutnya, untuk terus mengobarkan spirit modernisasi dan sekularisasi.
Munculnya program Tanzimat ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa tingkat pendidikan umat muslim kalah jauh di bawah tingkat pendidikan umat Kristiani di wilayah Turki Usmani. Misalnya, tahun 1861, sudah tercatat terdapat 571 sekolah dasar dan 94 sekolah menengah milik umat Kristen di Turki Usmani. Ada 140,000 siswa-siswa.
Jumlah sekolah dan siswa Kristen tersebut mengalahkan peserta didik umat muslim di tingkat sekolah yang sama dan di waktu yang sama. Selain jumlah yang sedikit, siswa-siswa muslim banyak menghabiskan waktu belajar bahasa Arab dan teologi Islam, sehingga kapasitas intelektual mereka kalah sama pendidikan sekuler milik Kristen (Norman Stone, Turkey in the Russian Mirror, 2005: 95).
Orang-orang Kristen di Turki Usmani ini juga menerima kedatangan kelompok Kristen Ortodok dari Lebanon yang berkebangsaan Yunani. Sehingga pada tahun 1911, tercatat ada 654 perusahaan di Istanbul dimana 528 di antaranya adalah milik etnik Yunani.
Di saat yang sama, orang-orang Kristen dan Yahudi di wilayah Turki Usmani mendapatkan perlindungan dari konsul dan kewargaan Eropa, sehingga mereka tidak dikenai peraturan hukum yang berlaku di Turki Usmani. Sehingga aturan perekonomian Kekaisaran Turki Usmani hanya berlaku bagi umat muslim saja (Eugene Rogan, The Arab: A Histroy, 2011: 93).
Kekalahan umat muslim Turki Usmani di bidang pendidikan disusul oleh kekalahan mereka di peperangan. Misalnya, Perang Crimea (1853-1856) menjadi kontestasi kekuatan-kekuatan Eropa untuk menghancur remukkan wilayah teritorial Turki Usmani.
Dampaknya, pada tanggal 4 Agustus 1854 tercatat hutang Kekaisaran Turki Usmani ke pihak asing mencapai 5 juta pond sterling (V. Necla Geyikdagi, Foreign Investment in the Ottoman Empire: International Trade and Relations 1854–1914, 2011: 32.).
Lebih-lebih, Turki Usmani harus menampung para imigran suku Tatar dari Crimea dan orang-orang Kaukasus. Walaupun begitu, imigran Tatar dari Crimea ini banyak memainkan peran positif di Turki Usmani, seperti mempromosikan Pan-Turkisme dan Nasionalisme Turki (Norman Stone, Turkey in the Russian Mirror, 2004: 86).
Dampaknya, Kekaisaran Turki Usmani terpaksa mengeluarkan anggaran besar untuk pendidikan publik. Pada tahun 1860-1861, pemerintah mengeluarkan 0,2 persen budget APBN diperuntukkan bagi pendidikan (Jörg Baten, A History of the Global Economy. From 1500 to the Present, 2016: 50).
Banyaknya tanggungan Kekaisaran Turki Usmani ini di bidang budgeting berdampak pada kelemahan militernya. Pada saat Turki Usmani ingin memodernisasi kekuatan militer dan infrastruktur negaranya, pada saat yang sama, para debitur menagihnya dengan paksa.
Sejarawan Eugene Rogan mengatakan, satu-satunya ancaman akan kemandirian Timur Tengah pada abad 19 bukanlah tentara Eropa melainkan perbankan (Rogan, 2011: 105). Jadi, hutang melilit Kekaisaran Turki Usmani adalah faktor utama yang menyebabkan kemundurannya, kekalahan pada setiap peperangan, dan rendahnya tingkat pendidikan publik.
Pada tahun 1881, sebenarnya Turki Usmani sudah hancur. Sebab, seluruh hutang Kekaisaran telah disetujui untuk dikontrol langsung oleh lembaga yang disebut Ottoman Public Debt Administration (OPDA), namun konsil ini beranggotakan orang-orang Eropa. Presidensinya dipimpin oleh Perancis dan Ingris.
Badan OPDA tersebut mengendalikan sebagian besar ekonomi Turki Utsmani, dan menggunakan posisinya untuk memastikan bahwa modal Eropa terus menembus ke jantung kekaisaran, sehingga seringkali merugikan kepentingan Turki Usmani sendiri (Rogan, 2011: 106).
Dari sini sudah mengetahui dengan jelas, upaya-upaya modernisasi dan sekularisasi yang terjadi pada Turki di abad 21, misalnya yang dipelopori oleh Mustafa Kemal Ataturk, memiliki alasan yang cukup panjang.
Mustafa Kemal mengutamakan pendidikan, mewajibkannya, dan menggratiskannya, karena sejarah menunjukkan bahwa awal keruntuhan Turki Usmani adalah lemahnya pendidikan Islam, sehingga tidak mampu bersaing dengan pendidikan kaum Kristen.
Kekalahan di bidang pendidikan ini menjadi alasan kelemahan di berbagai aspek, terutama ekonomi dan politik. Karenanya, modernisasi, sekularisasi, dan unifikasi yang digagas oleh intelektual Turki abad 20 hingga 21 adalah untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para Sultan di era Turki Usmani.
Kesultanan dirasa perlu untuk segera dibubarkan, karena tidak lagi mampu bersaing dengan dunia yang terus maju secara pesat. Inilah yang dirasa oleh generasi baru Turki, yang merasa penting membubarkan kekaisaran mereka yang pernah jaya di masa silam. Tampaknya, perubahan memang harus terjadi demi perbaikan di masa depan.[]
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.