"No Viral No Justice"
Sebenarnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah melaporkan kejanggalan transaksi keuangan Rafael sejak 2012 lalu. Namun aparat penegak hukum terkesan melakukan pembiaran.
Kini setelah "bom waktu" itu meledak, semua tergopoh-gopoh dan kebakaran jenggot. Itulah akibatnya kalau penegakan hukum di negeri ini belum dilakukan secara sistematis.
"Law enforcement" masih dilakukan secara sporadis. Kalau ada kejadian, semua baru kebakaran jenggot.
Pertanyannya, mengapa penegak hukum tidak melakukan "follow up" (tindak lanjut) terhadap laporan PPATK, dan Kementerian Keuangan pun seolah diam saja?
Sekali lagi, di sinilah terungkap bahwa "law enforcement" masih dilakukan secara sporadis, belum sistematis. Semua baru kebakaran jenggot setelah kasusnya meledak.
"No viral no justice", tidak viral maka tidak ada keadilan.
Mengapa para birokrat cenderung melakukan panyimpangan kekuasaan atau "abuse of power", seperti mencoba menyembunyikan harta kekayaan dan tidak melaporkan LHKPN ke KPK? Ini terkait adagium Lord Acton (1834-1902), "The power tends to corrupt, absolute power corrupt asbolutly" (kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang mutlak, akan mutlak pula korupsinya).
Apalagi bagi mereka yang sedang berada di puncak kekuasaan seperti Ferdy Sambo kemarin.
Mereka lupa bahwa manusia sebenarnya hanyalah seonggok daging dan darah yang kemuliannya ditentukan oleh jiwa. Bahkan kemuliaan yang benar-benar mulia ditentukan oleh Tuhan.
Manusia sebenarnya hanya pelayan Tuhan saja, tapi sering menghalalkan segala cara. Akhirnya manusia terjerumus ke dalam jurang kehinaan seperti sampah.
Karena manusia suka lupa daratan itulah maka diperlukan penegakan hukum yang sistematis, bukan lagi sporadis.
Dengan penegakan hukum yang sistematis itulah niscaya negeri ini akan kuat dan rakyatnya akan sejahtera. Semoga!
* Dr Abraham C Hutapea SE SH MM: Advokat Peradi/Ketua Lembaga Pemberdayaan Potensi Ekonomi Daerah (LPPED).