Membongkar Akar Mental Inlander di Kalangan Elite NU
*Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA.
TRIBUNNEWS.COM - Ormas NU memang besar secara kuantitas. Itu bisa dilihat dari jumlah anggotanya yang selalu dibangga-banggakan.
Tak ayal, NU pun diklaim sebagai ormas Islam terbesar di dunia. Tetapi, apakah kualitas ormas ini seimbang dengan kuantitasnya? Bagaimana bila ormas ini hanya besar secara kuantitas, tetapi tidak secara kualitas?
Ada banyak aspek untuk menjawabnya. Salah satunya melihat dari aspek politik. Puluhan juta warga NU (Nahdliyyin) tidak satu pun yang berhasil memimpin negeri.
Jika pun ada, dia adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang tak tuntas satu periode saja. Selebihnya? Mentok hanya Wakil Presiden, dia Kiai Ma’ruf Amin.
Masalahnya bukan perjuangan Nahdliyyin yang kandas, atau gagal meraih tampuk kekuasaan tertinggi di dalam negeri.
Masalahnya terletak pada mentalitas elite NU. Mereka tidak tahu arti penting jumlah besar secara kuantitas. Karena itu tidak ada proses kaderisasi untuk melahirkan pemimpin masa depan.
Lebih parah lagi, visi PBNU di bawah kepemimpinan yang baru, periode 2021-2026, menutup saluran kaderisasi tersebut.
KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menarik garis batas antara warga Nahdliyyin dan politik. Bahkan, tidak boleh kader NU atas nama NU maju sebagai Capres-Cawapres.
Dari mana datangnya mental penakut ini? Mengapa elite NU tidak berani bersaing merebut puncak kekuasaan di negeri ini? Mengapa besarnya kuantitas anggota tidak diiringi oleh besarnya kualitas? Apakah elite NU krisis kader pemimpin bangsa dan negara?
Tampaknya, akar mentalitas seperti kerupuk ini lahir dari proses sejarah yang panjang. Pada satu kesempatan, Djarot Saiful Hidayat menulis sebuah buku berjudul "Politik dan Ideologi PDI Perjuangan 1987-1999: Penemuan dan Kemenangan", terbitan Gramedia, 2023.
Pandangan politikus PDI Perjuangan ini menarik, karena menceritakan spirit Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di awal-awal pendirian PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).
Menurut Djarot, pasca runtuhnya rezim Orde Baru, para pemimpin internal Ormas NU mendesak Gus Dur mendirikan partai politik bagi warga NU untuk Pemilu 1999.
Saat itulah, Gus Dur membentuk tim di dalam ormas NU untuk mendirikan PKB, dengan asas Pancasila, tanpa secara eksplisit mengusung politik Islam (hlm. 280).
Yang penting digaris bawahi di sini bukan soal pendirian PKB dan asas ideologis Pancasilanya, melainkan cerita tentang mentalitas para elite NU jaman dahulu.
Para pendahulu berhasil mempertahankan status NU sebagai Ormas Keagamaan, sekaligus membentuk sayap politik bernama PKB. Sekali dayung, visi keagamaan, kebangsaan dan kekuasaab dilampaui.
Sayangnya, elite NU hari ini tidak ada yang melanjutkan perjuangan Gus Dur. Gus Dur mempertahankan NU sebagai ormas keagamaan sekaligus menjadikan PKB wadah aspirasi politik Nahdliyyin.
Elite NU hari ini kecil hati. Tidak ada kader Nahdliyyin yang memiliki keberanian seorang ksatria untuk maju atau mendorong kader terbaik NU menjadi orang nomor satu di negeri ini. Diperparah pola kepemimpinan Gus Yahya di PBNU.
Elite NU pun pada akhirnya tidak punya keberanian maju sebagai calon presiden. Mereka takut melanggar aturan ketua umum, yang melarang Nahdliyyin menggunakan nama NU terjun ke politik. Konflik internal elite NU ini adalah warisan sejarah masa lalu yang dirawat.
Mohammad Sobary (2013), dalam buku "NU dan Keindonesiaan," mencontohkan perolehan suara PKB mencapai 12,46 persen pada Pemilu 1999, lalu turun menjadi 10,57 persen pada Pemilu 2004, dan turun lagi menjadi 5,25 persen pada Pemilu 2009.
Sobary menambahan, menyusutnya suara "Partainya Wong NU" itu tidak lain karena timbul konflik internal di dalam kepengerusuan PKB. Politik praktis menurut Sobary berhasil memecah belah kaum Nahdliyyin.
Konflik internal ini pun berdampak pada mentalitas kader NU, yag semakin pesimis tentang kualitas dirinya, apakah kadernya layak maju menjadi kepala negara, atau tidak.
Sebaliknya, jika elite NU tidak berkonflik saudara tetapi menyatukan suara, maka Partai NU terbukti berhasil mendapatkan 18,41 persen pada Pemilu 1955 dan mendapatkan 18,86 persen Pemilu 1971 (Sobary, 2013: 112).
Seperti pepatah katakan, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Terbukti, selama Orde Lama dan Baru, perolehan suara politik NU sangat besar, dibanding perolehan suara pasca Reformasi. Elite NU saat itu sudah mulai berpecah belah.
Mentalitas orang suka berkonflik saudara itu adalah mentalitas inlander. Lebih dari itu, seorang inlander tidak akan patuh pada keputusan hukum yang berlaku. Buktinya, Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan PKB versi Muhaimin Iskandar.
Walaupun keputusan hukum sudah jelas, konflik internal Nahdliyyin terus pecah. Sejak saat itu hingga hari ini, konflik internal Nahdliyyin semakin meruncing. Gus Yahya seakan terus berjuang menjauhkan NU dari PKB.
Menjauhkan NU dari PKB, khususnya pada Pemilu 2024 nanti, akan selalu diingat oleh generasi bangsa. Nahdliyyin memang pintar menyerukan persatuan dan kesatuan bangsa. Tetapi, dirinya sendiri mempertontonkan konflik internal berkepanjangan.
Dalam konteks ini, elite PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya harus berubah secara mental. Lupakan dan lepaskan dari intrik Konflik PKB Gus Dur-Cak Imin masa lalu, fokus menata kedepan, Mereka harus mengupayakan agar kader NU menjadi pemimpin negeri ini. Jadi Jadwal paling awal adalah menghapus konflik antara NU dan PKB.
Sebaliknya, jika NU dan PKB dipisahkan, maka itu sama halnya dengan merawat warisan konflik masa lalu. Konflik internal adalah sumber pesimisme elite NU.
Semakin tajam konflik PKB versus PBNU, semakin jelas elit NU hanya mengedepankan Ego Personal "pemusuhan dan dan persaingan pribadi' bukan kemasalahatan Nadliyyin dan NU. Wallahu a’lam bis shawab.[]
_*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_