Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA *)
DALAM gelaran Halaqoh dan Muskerwil 1 PWNU Sumatera Utara tahun 2023, yang diselenggarakan di Asrama Haji Medan, 20-30 Agustus, Pimpinan Tertinggi PBNU KH. Miftachul Akhyar membuat pernyataan kontroversial.
Pada ceramahnya yang ditayangkan oleh akun YouTube, TVNU Televisi Nahdlatul Ulama @tvnu_id, dari menit 47.20 sampai 53.14, Kiai Akhyar menceritakan pengalaman selama masih menjadi wakil Rais 'Amm PBNU periode 2015-2020.
Menurutnya, sempat terjadi pertemuan antara dirinya dan sebagian "9 Naga" yang telah berkembang menjadi "18 Naga." Istilah ini mengacu pada oligarki yang menguasai 82 persen ekonomi nasional, dimana ada satu orang yang dari 18 orang tadi menguasai 51%.
Baca juga: Kaesang Sowan ke Rumah Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf, Minta Restu dan Wejangan Politik Santun
Informasi tersebut dikonfirmasi oleh Kiai Akhyar dengan bertanya pada mantan wakil presiden RI Jusuf Kalla, dan bapak JK membenarkan keberadaan satu orang yang menguasai 51% ekonomi nasional.
Catatan Putih Pidato Rais 'Am
Banyak pengamat dan aktivis NU yang memuji langkah perjuangan Kiai Miftachul Akhyar tersebut. Dalam artikelnya "Pidato Kiai Miftachul Akhyar: Menghidupkan Sikap Ekonomi-Politik NU," dimuat Alif.id, 06/10/2023, Amin Mudzakir mengatakan bahwa baru kali ini elite puncak NU bicara ekonomi politik.
Sebenarnya, Kiai Akhyar dalam ceramah panjang yang hampir satu jam tersebut menempatkan topik ekonomi politik dalam konteks serangkaian perjuangan NU. Dengan mengatakan bahwa NU telah sukses dalam perjuangan di bidang pendidikan, ditandai banyaknya perguruan tinggi NU (universitas Nahdlatul Ulama).
Selain itu, NU juga telah sukses berdakwah dan berjuang di bidang kesehatan, ditandai banyaknya rumah sakit NU, semisal di Jawa Timur. Langkah berikutnya yang dinilai oleh Kiai Akhyar cukup berat adalah perjuangan di bidang ekonomi.
Perjuangan ekonomi ini bertalian dengan urusan politik. Kiai Akhyar melihat bahwa pertumbuhan ekonomi nasional yang tinggi tidak terlepas dari "berkah" orang-orang NU yang baik, antara lain: tidak mencoba mengganggu jalannya pemerintahan, tidak ingin menurunkan pemerintah yang sah, mendukung sistem politik yang disepakati bersama.
Kiai Akhyar membayangkan adanya garis kausalitas antara perilaku orang NU dengan stabilitas pemerintahan, yang berujung pada peningkatan ekonomi nasional. Hanya saja, ketika bicara ekonomi nasional, di sana ada "parasit" yaitu "18 Naga" yang menguasai 82% ekonomi nasional.
"Catatan Merah Pidato Rais 'Am"
Mengingat perilaku positif orang NU berkontribusi pada pertumbuhan pesat ekonomi nasional, dan adanya parasit dalam ekosistim ekonomi nasional tersebut, Kiai Miftachul Akhyar terjebak pada logikanya sendiri. Dia mulai berharap agar mendapatkan tetesan-tetesan "berkah" dari para parasit tersebut.
Harapan semacam itu didasarkan pada pasifisme, hanya mengandalkan doa, dan puncaknya berada dalam kelimpungan logika. Hal ini ditangkap oleh Amin Mudzakir, yang mengatakan dengan bahasa satire bahwa kenyataan warga NU sebagai mustadh'afin tidak membuahkan langkah-langkah strategis, selain menghasilkan logika jatah belaka.
Bagi Mudzakir, logika jatah ini tidak menyelesaikan masalah mendasar melainkan membuka pintu seluas-luasnya bagi orang-orang yang berkepentingan, misalnya mengadakan transaksi pribadi. Hal ini harus digarisbawahi dan dicetak tebal. Ceramah Kiai Akhyar mencerminkan mentalitas manusia yang lebih mencari jatah dari pada perjuangan dengan keringat dan getih sendiri.
Baca juga: Cak Imin Bicara Kemungkinan Mantan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj Jadi Kapten Timnas Koalisi AMIN
Logika jatah ini, yang digaungkan pengurus Syuriah, juga berdampak sangat buruk pada langkah-langkah pengurus NU, khususnya di tingkat Tanfidziah. Publik menjadi saksi mata bagaimana pengurus elite Tanfidziah seakan "menjajakan" NU kemana-mana. Di satu sisi ingin tidak berpolitik praktis. Di sisi lain berperilaku layaknya politisi kawakan yang mencari jatah.
Sayangnya, perilaku pengurus elite Tanfidziah yang "bermuka dua" maupun penegasan logika dan mentalitas pencari jatah oleh elite Syuriah semacam ini harus berhadapan dengan publik Indonesia yang semakin cerdas dan kritis. Sudah tidak ada yang bisa banyak disembunyikan melalui retorika, karena isyarat-isyarat itu begitu nyata. Istilah orang pesantren, retorika PBNU sudah muhkamat, bukan mutasybihat lagi.
Karena itulah, dari pada bermain retorika, Amin Mudzakir menyarankan agar mampu memahami perbedaan antara pro-negara dan pro-kekuasaan. Substansi pernyataan "orang NU tidak pernah menurunkan pemimpin di tengah jalan" harus dimaknai dalam konteks kenegaraan, bukan pemerintahan. Jika dipahami dalam konteks kenegaraan maka akan produktif. NU pembela NKRI garda terdepan. Namun jika dalam konteks pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, NU malah menjadi pembela terdepan oligarki.
Jalan Keluar
Amin Mudzakir menyarankan, apabila PBNU memang berniat sungguh-sungguh membela warganya yang bagian dari "mustadh'afin, fuqara', dan masakin" maka sejak dini semestunya pengkaderan NU seperti "PKPNU" idealnya diajarkan materi kapitalisme neoliberal, oligarki, intoleransi ekonomi dan lainnya. Tidak seperti PKPNU yang terjadi hari ini, sekedar berisi Halu terkait isu radikal-radikul dan Intoleransi Beragama, padahal hari ini yang paling membahayakan kita warga Nahdiyyn dan membahayakan keutuhan NKRI adalah intoleransi Ekonomi yang sudah mengakar dan menyengsarakan anak bangsa ini.
Hanya dengan cara itu, kader-kader muda NU akan memiliki kritisisme atas kapitalisme neoliberal dan oligarki yang merugikan rakyat kecil umumnya
Jika tidak ada materi pembelajaran semacam itu, maka bukan saja warga NU yang gagal paham cara melakukan perjuangan ekonomi politik. Bahkan, Kiai Miftachul Akhyar sendiri gagal paham. Misalnya, di satu sisi ingin mengembangkan ekonomi rakyat kecil, disaat yang sama ingin mendapatkan tetesan/jatah atau berkah dari 18 Naga. Kontradiktif bukan?
Memang semua solusi harus sama-sama dijalankan. Pengkaderan yang kritis harus dilakukan. Tetapi, perjuangan melalui jalur politik adalah jalan paling efektif. Sebab, kemiskinan bukan semata-mata alamiah melainkan sering bersifat struktural, karena adanya pemiskinan. Kebijakan-kebijakan politik pemerintah yang berkuasa lebih memihak segelintir oligark daripada rakyat banyak.
Jika sudah menyangkut urusan pemiskinan, bukan kemiskinan, maka satu-satunya cara harus ditempuh oleh NU adalah jalur kekuasaan. Sejauh apapun pengkaderan tanpa diiringi kekuasaan hanya akan menjadi suara sumbang di luar sistem yang berlaku. Untuk menuju kekuasaan yang pro-rakyat, anti-oligarki, dan menghapus intoleransi ekonomi, maka NU butuh PKB; satu-satunya partai politik yang dilahirkan NU sendiri.
Menyatukan NU dan PKB adalah langkah strategis menciptakan kebijakan pemerintah yang ideal. Poin lebihnya, berkolaborasi dengan PKB jauh lebih elegan bagi NU daripada menjadi pengemis, yang meminta-minta, dan menunggu berkah dari 18 Naga.
Sampai di sini, satu-satunya pilihan yang paling efektif bagi NU adalah menyalurkan aspirasi politiknya melalui PKB; bukan melalui 18 Naga, apalagi melalui pemerintah yang membiarkan secara sengaja ada 18 orang menguasai 82% ekonomi nasional.
PKB tinggal menunggu niat baik PBNU, PKB siap menjadi penampung aspirasi politik Nahdliyin, jika memang serius membela rakyat kecil dan serius mengangkat harkat martabat warga NU sebagai mustadh'afin, fuqara', dan masakin. PKB harus dimaksimalkan fungsinya oleh NU, demi merebut kekuasan dan memastikan warga NU sebagai subyek perubahan.
Mengubah nasib warga NU hanya akan terjadi efektif melalui jalur kekuasaan, yaitu NU melalui PKB memantapkan satu visi dalam cita-cita yang sama. Bahkan, bisa dikatakan, persatuan NU-PKB adalah amanah Masyaikh NU, dan ke depan NU-PKB turut serta dalam mengecilkan peran oligarki dan mengakhiri era intoleransi ekonomi. Sungguh ini lebih elegan dan bermartabat dari pada berharap berkah 18 Naga menetes pada warga NU.[]
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.