Oleh Eva Nila Sari
TRIBUNNERS - Emansipasi dan feminisme, 2 (dua) kata yang akrab dengan perjuangan hak-hak perempuan. Pemahaman yang salah kerap terjadi dan berbuah pada sentimen negatif atas gerakan ini.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) telah mendefinisikan bahwa Emansipasi adalah pemberian kebebasan kepada individu, sedangkan Feminisme adalah suatu gerakan menuntut kesetaraan dan keadilan gender.
Emansipasi perempuan adalah tentang bagaimana perempuan dapat berkembang dan maju dari waktu ke waktu tanpa menghilangkan jati dirinya. Sedangkan hal yang harus diutamakan dalam feminisme adalah sifatnya yang non-kompetitif, artinya bukan persaingan melainkan kolaborasi dalam sebuah masyarakat yang adil gender.
Baca juga: Gus Yahya: Pak Nadiem Belum Pernah jadi Rektor, Koq jadi Menteri Pendidikan
Singkat kata, ini adalah gerakan pembebasan baik dari belenggu pemahaman maupun budaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan yang memuliakan nilai-nilai kemanusiaan.
Sesungguhnya, sejarah Indonesia telah memberikan referensi tokoh-tokoh perempuan dengan kemampuan luar biasa yang mampu mendobrak ‘kelaziman’ masyarakat kala itu dan memberikan pemahaman yang berbeda dari zamannya.
Tak dapat dipungkiri bahwa perempuan-perempuan ini menghadapi tantangan yang berlipat ganda dalam memperkenalkan pembaharuan. Betapa tidak, karena selain menghadapi belenggu budaya dan pemahaman masyarakat, mereka juga harus bahu membahu mengatasi hegemoni penjajah yang sangat nyata.
Siapa yang tidak mengenal sosok Nyi Ageng Serang/ Raden Ajeng Kustiah Retno Edi (1752-1828), Martha Khristina Tiahahu (1800-1818), Cut Nyak Dien (1848-1908) dan Cut Meutia (1870-1910) yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden maupun Surat Menteri Sosial karena kontribusinya yang luar biasa dalam upaya melepaskan belenggu penjajahan negeri pertiwi.
Namun tidak sedikit dari tokoh-tokoh yang telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional itu yang juga membuka jalan bagi pemenuhan hak-hak kaum perempuan. Sebut saja Raden Ajeng Kartini (1879-1904), Raden Dewi Sartika (1884-1947) dan Roehana Koeddoes (1884-1972).
Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara ini, meski hanya lulusan sekolah dasar, namun memiliki semangat literasi yang kuat. Berawal dari literatur (buku dan majalah) yang sering ia baca yang mengisahkan kondisi perempuan Eropa yang merdeka, muncul keinginan kuat dari Kartini untuk mendirikan sekolah di Jepara untuk kaum perempuan.
Suami Kartini mendukung cita-citanya tersebut, maka berdirilah ‘Sekolah Kartini’ di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan lain-lain.
Surat-surat yang ia kirimkan kepada temannya di Belanda, kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul “Door Duisternis tot Lieht” (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Raden Dewi Sartika, seperti halnya Kartini, ia hanya mampu menyelesaikan pendidikan dasar. Pada usia 15 tahun, berkat bantuan dan dorongan kakeknya RAA Martanegara dan Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran, pada 16 Januari 1904 Dewi Sartika mendirikan sekolah yang diimpikannya, bernama Sekolah Istri di Bandung.
Baca juga: Emansipasi Wanita, Kaum Hawa Kini Banjiri Sektor Teknologi
Awalnya, jumlah murid hanya 20 orang dengan dua ruangan. Mereka menumpang di Kantor Kepatihan Bandung. Para murid dibekali pelajaran berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam, dan agama.
Tahun 1910 sekolah itu berganti nama menjadi Sekolah Keutamaan Istri. Sekolah ini kemudian juga berdiri di Kota Garut, Tasikmalaya, Purwakarta, dan sebagainya.
Lalu Roehana Koeddoes, tokoh yang baru saja ditetapkan sebagai pahlawan nasional ini (Surat Menteri Sosial RI No. 23/MS/A/09/2019) merupakan bibi dari penyair ulung Indonesia Chairil Anwar. Roehana adalah saudara tiri Sutan Sjahrir serta sepupu Agus Salim. Dia termasuk wanita cerdas yang tak mengenyam pendidikan formal.