SIAPA yang tidak mengenal wayang? Hampir kebanyakan orang mengenal apa yang dimaksud dengan wayang walaupun banyak pula yang tidak mengetahui secara detil cerita mengenai wayang.
Setidaknya mereka pernah mendengar tentang Ramayana dan Mahabarata yang pernah ditayangkan menjadi cerita bersambung di media televisi Indonesia.
Karena tayangan televisi menyajikan cerita Ramayana dan Mahabarata dengan latar belakang budaya India maka kebanyakan menganggap bahwa wayang berasal dari India.
Menurut Ir Sri Mulyono Djojosupadmo dalam bukunya yang berjudul “Wayang: Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya” yang terbit pada tahun 1982 menyatakan bahwa wayang telah ada sejak ±1500 SM.
Sehingga jika dihitung wayang telah ada selama 3523 tahun.
Wayang bertransformasi yang semula untuk ritual kepercayaan dan animisme kini menjadi seni pertunjukan dan bahkan menjadi media pengajaran dan komunikasi termasuk dalam hal muatan keagamaan.
Dalam bukunya tersebut Ir Sri Mulyono Djojosupadmo mengatakan bahwa “berdasarkan lintasan sejarah yang ditempuh oleh wayang….wayang akan menjadi milik jagad”.
Pemikiran Ir Sri Mulyono Djojosupadmo terbukti dengan diakuinya dan ditetapkannya wayang oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tanggal 7 November 2003 sebagai “Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity”.
Dengan demikian bulan lalu kita baru saja memperingati tanggal bersejarah wayang yang kini dunia mengakui bahwa wayang adalah karya kebudayaan yang mengagumkan di bidang cerita narasi dan warisan budaya.
Berdasarkan atas pengakuan global terhadap wayang tersebut Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden (KepPres) Nomor 30 Tahun 2018 menetapkan Hari Wayang Nasional yang diperingati setiap tahun pada tanggal 7 November.
Wayang, khususnya wayang kulit Jawa, adalah asli berasal dari Jawa walaupun alur cerita kebanyakan mengambil dari hikayat Ramayana dan Mahabarata yang merupakan versi India.
Sebelumnya wayang banyak memuat unsur agama Hindu.
Namun dengan runtuhnya kekuasaan Majapahit serta bangkitnya kerajaan Islam (Kerajaan Demak) pada tahun 1478 (abad XV) oleh para Wali (Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Kalijaga) wayang digubah sebagai media siar agama Islam.
Wayang Jawa, baik gagrak Surakarta, Yogyakarta maupun Kedu kebanyakan dibuat dari kulit binatang seperti kerbau, sapi dan etawa.
Namun kini dengan semakin berkurangnya bahan kulit untuk membuat wayang maka sejumlah pengrajin wayang mulai beralih membuat wayang dari bahan limbah berupa split sapi.
Split sapi merupakan limbah tahap awal dari proses penyamakan kulit.
Dalam tahap awal proses penyamakan kulit tersebut dapat dihasilkan limbah split sekitar 120 kg untuk setiap ton bahan kulit yang diolah.
Ini setara dengan 12 persen bobot bahan baku yang akan disamak menjadi limbah berupa split.
Satu lembar kulit split sapi utuh yang berupa full nerf atau full grain (yakni kulit lapisan paling atas) dapat memiliki bobot 2,5 – 3,0 kg.
Limbah berupa split sapi ini masih memiliki nilai ekonomik sekitar 100 ribu per kilogram.
Secara tradisional limbah split sapi ada yang dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan krecek, sol dalam sepatu, suede (sejenis beludru) serta perkamen.
Melalui dunia seni pewayangan, limbah split sapi dapat ditingkatkan nilainya.
Selain itu pemanfaatan limbah split sapi ini dapat merupakan salah satu cara untuk menguatkan penerapan circular economy melalui konsep waste to product atau waste exchange guna mencapai keadaan sustainable consumption and production sehingga sangat mendukung capaian Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 12 yaitu “Responsible Consumption and Production”.
Satu lembar limbah split sapi utuh dapat digunakan untuk membuat wayang ukuran sedang dengan tinggi wayang sekitar 40 – 42 cm (misal tokoh Arjuna) sebanyak 8 buah atau wayang ukuran tinggi dengan tinggi wayang sekitar 55 – 56 cm (misal tokoh Gatutkaca) sebanyak 5 buah.
Satu lembar limbah split sapi utuh dapat dimanfaatkan untuk membuat lebih dari 8 buah wayang ukuran putren (tinggi sekitar 35 cm atau kurang) dan kurang dari 5 buah untuk wayang ukuran besar (seperti tokoh Bima atau yang lebih tinggi) dengan ukuran tinggi wayang 65 cm atau lebih.
Nilai jual produk wayang dengan bahan limbah split sapi ini bervariasi untuk tokoh yang sama bergantung kepada kerumitan tatahan dan sunggingan wayang.
Untuk tokoh Arjuna dengan mutu standar, yakni Kelas I, dapat dijual dengan harga 200 sampai 300 ribu.
Namun untuk kualitas tatahan dan sunggingan yang lebih halus, biasa disebut kualitas premium, dapat dijual dengan harga 400 hingga 600 ribu.
Dari sini jelas bahwa kepiawaian dalam mengolah limbah split sapi menjadi produk bernilai tambah sangat ditentukan oleh keahlian seorang seniman.
Salah satu pengrajin seni wayang kulit di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta yang juga turut menulis artikel ini telah memproduksi wayang kulit dari limbah split sapi hingga ke manca negara seperti Jerman, Perancis, China, Hong Kong serta sejumlah negara lainnya.
Dari skill yang dimiliki oleh seorang pengrajin wayang kulit nilai tambah limbah split sapi setelah menjadi produk wayang secara gross meningkat menjadi 8 hingga 16 kali lebih tinggi.
Pemanfaatan split sapi menjadi produk wayang juga merupakan usaha yang boleh dikatakan zero waste karena potongan sisa split sapi masih dimanfaatkan lagi sebagai bahan untuk gantungan kunci, pembatas buku atau karya seni lainnya.
Sedangkan sisa terakhir dari split sapi yang tidak memungkinkan untuk dibuat menjadi karya seni biasanya diolah untuk menjadi bahan makanan berupa krecek atau sayuran lainnya.
Wayang split adalah salah satu jenis wayang diproses dari limbah.
Contoh lain wayang yang juga dibuat dari limbah adalah wayang sak semen.
Wayang sak semen dibuat dari limbah kemasan semen.
Perbedaan antara wayang split dengan sak semen adalah kelenturan.
Wayang split memiliki kelenturan lebih baik dari pada sak semen.
Oleh sebab itu jika salah satu bagian wayang (terutama tangan) yang terbuat dari sak semen mengalami tekukan maka sering kali bekas tekukan tidak bisa hilang dan membekas.
Sebagai akibatnya bagian yang mengalami tekukan tersebut menjadi cacat dan selain mengganggu penampilan juga mengganggu pementasan jika wayang sak semen digunakan dalam pertunjukan wayang.
Berbeda dengan wayang split yang pada saat pembuatan maka kulit split dijereng atau dipentang supaya permukaannya menjadi lurus dan rata maka sak semen sebelum digunakan harus ditekan atau dipress selama beberapa hari supaya permukaan kertas semen menjadi rata dan bisa ditatah.
Pada umumnya wayang yang terbuat dari sak semen terdiri dari beberapa lapisan kertas sak semen supaya wayang yang dihasilkan tebal dan kuat atau tidak mudah tertekuk.
Antar lapisan sak semen diberi lem sedemikian rupa sehingga antar kertas sak semen bisa melekat kuat selama proses pemberian tekanan (press).
Bergantung kepada jenis lem yang digunakan serta jumlah lembar lapisan sak semen yang dipersiapkan untuk membuat wayang maka lama proses pemberian tekanan sak semen sampai siap ditatah adalah dalam kisaran 3 sampai 7 hari.
Untuk wayang berukuran sangat besar bahkan mmerlukan waktu hingga 10 hari.
Selama periode pemberian tekanan bahan sak semen dilakukan pembalikan setiap hari sehingga lembaran sak semen yang dihasilkan adalah rata baik bagian permukaan atas maupun bawah.
Harga jual wayang sak semen cukup murah yakni antara 300 sampai dengan 500 ribu untuk ukuran bambangan atau katongan bergantung kepada kualitas tatahan dan sunggingan wayang.
Pada gambar di bawah diperlihatkan sak semen sebagai bahan pembuat wayang serta contoh wayang yang dibuat dari limbah sak semen.
Seperti yang tampak pada gambar contoh wayang sak semen tersebut hampir tidak tampak bedanya dengan wayang yang terbuat dari kulit asli.
Harga limbah sak semen pada saat ini berkisar Rp. 3.000 – 5.000 per kg.
Dengan demikian mengubah limbah kemasan atau sak semen menjadi sebuah karya seni wayang akan meningkatkan nilai tambah beberapa kali lipat.
Tentu saja besar peningkatan tersebut sangat bergantung kepada kualitas wayang yang dihasilkan terutama dalam hal tatahan dan sunggingan.
Dari kedua contoh pemanfaatan limbah split serta sak semen sebagai sebuah produk karya seni adalah contoh bisnis baru yang menjanjikan.
Selain itu pemanfaatan limbah tersebut sejalan dengan konsep circular economy yang tujuan meminimalkan timbulan limbah serta meminumkan ekspolitasi sumberdaya alam.
Penulis:
Fuzi Suciati, Dwindrata B. Aviantara, Ikhsan Budi Wahyono, Efadeswarni, Yudi Hertanto
Badan Riset dan Inovasi Nasional
Pengrajin Desa Wisata Seni Wukirsari, Imogiri, Bantul, Yogyakarta