TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Jet-jet tempur AS dan Inggris melancarkan serangan udara ke target-target kelompok Houthi di Yaman.
Terpisah, armada udara AS menggempur sasaran kelompok milisi Syiah di Irak, yang dituduh menyerang pangkalan militer AS di negara itu.
Di Suriah, yang paling rajin menyerang sasaran yang diyakini kelompok pro-Iran lewat udara adalah jet-jet tempur Israel dari wilyah udara Lebanon.
Serangan udara AS dan Inggris itu kini diprotes China dan Rusia di Dewan Keamanan PBB. Aksi militer itu dinilai ilegal.
Berbicara di Dewan Keamanan PBB, Wakil Dubes Rusia untuk PBB Dmitry Polyanskiy dan utusan Tiongkok untuk PBB Zhang Jun menuduh AS melakukan serangan tidak sah di Yaman.
Mereka berpendapat Dewan Keamanan PBB belum mengizinkan tindakan militer terhadap Yaman.
Baca juga: Tak Setuju Keputusan Amerika Memasukan Houthi ke Daftar Teroris, PBB: Bakal Rugikan Ekonomi Yaman
Baca juga: Militer Yaman Sekutu Houthi: Kapal Curah AS Star Iris Kena Hantaman Langsung Rudal di Laut Merah
Baca juga: Houthi akan Ngamuk di Laut Merah Jika Israel Serbu Rafah di Jalur Gaza Selatan
Wakil Duta Besar AS Robert Wood dan Duta Besar Inggris Barbara Woodward mengklaim serangan terhadap ke Yaman adalah aksi bela diri.
Tindakan itu menurut mereka proporsional dan sah. Yaman kini memang jadi titik paling rawan konflik di Timur Tengah.
Tensi tinggi di Jalur Gaza, direspon dengan ancaman Houthi Yaman untuk menyerang setiap armada pro-Israel yang melintas di Laut Merah dan Teluk Aden yang sempit.
Ancaman itu bukan gertakan kosong. Houthi Yaman sudah menyita dua kapal kargo raksasa afiliasi ke Israel yang mengangkut logistik dan kendaraan.
Bahkan, serangan rudal sudah mengenai kapal pengangkut bantuan militer AS untuk Israel yang bergerak menuju pelabuhan Eilat.
Aksi Houthi Yaman ini telah menyebabkan gangguan besar pada salah satu rute pelayaran terpenting dan paling sibuk di dunia ini.
Meningkatnya ketegangan di Laut Merah, perang tak seimbang di Jalur Gaza, memunculkan situasi baru di kawasan ini.
Beberapa negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab, semakin membatasi penggunaan fasilitas militer AS di wilayah mereka untuk melancarkan serangan udara balasan terhadap proksi Iran di Yaman, Irak maupun Suriah.
Media berpengaruh di AS, Politico, mengutip empat orang yang mengetahui masalah ini, baik di kalangan militer maupun kongres.
AS telah lama mengerahkan ribuan tentara di fasilitas-fasilitas di UEA, Kuwait, Oman, Qatar, dan negara-negara lain di Timur Tengah.
Peran negara-negara Arab dalam mendukung aktivitas militer AS semakin mendapat sorotan sejak pecahnya perang Israel-Hamas Oktober 2023.
Konflik ini mempertentangkan kepentingan negara-negara Arab dalam meredakan kemarahan warganya terhadap Israel.
Di sisi lain ada keinginan mereka untuk membantu Washington menangkis serangan yang didukung Iran.
Pembatasan terhadap aktivitas AS di wilayah mereka mencerminkan perhitungan Arab mengenai seberapa besar dukungan yang mereka berikan, tanpa membuat marah Iran.
Di tengah meningkatnya jumlah korban warga sipil di Gaza, beberapa negara Arab, khususnya negara-negara yang mencoba melakukan perdamaian dengan Iran, semakin membatasi ruang gerak AS dan mitranya untuk melakukan operasi pertahanan diri dari wilayah mereka.
Hal ini termasuk pembatasan serangan balasan terhadap serangan di Irak, Suriah, dan Laut Merah.
Presiden AS Joe Biden dalam beberapa pekan terakhir telah memerintahkan beberapa serangan udara dan rudal balasan ke sasaran pro-Iran.
Beberapa di antaranya dilakukan bersama dengan sekutu AS, terhadap ancaman yang didukung Iran di Timur Tengah.
Milisi yang didukung Iran telah menyerang pasukan AS di Irak, Suriah dan Yordania menggunakan campuran drone, roket, dan rudal sebanyak 170 kali sejak Oktober, menewaskan tiga anggota militer AS dan melukai puluhan lainnya.
Sementara itu, pemberontak Houthi di Yaman telah melancarkan 46 serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah dan Teluk Aden sejak kampanye dimulai pada 19 November.
Negara-negara Arab tertentu membatasi akses pangkalan dan penerbangan bagi aset-aset yang berpartisipasi dalam serangan balasan ini.
Tidak jelas berapa banyak negara yang mengambil tindakan ini.
Alasan UEA khususnya melakukan hal ini, menurut salah satu pejabat Barat, adalah mereka tidak ingin terlihat menentang Iran dan tidak ingin terlihat terlalu dekat dengan barat dan Israel.
Ini demi mendapatkan opini publik baik domestik maupun kawasan. UEA dalam beberapa tahun terakhir juga menyuarakan kekhawatiran tentang meningkatnya serangan dari kelompok Houthi di Yaman.
Kelompok bersenjata yang berkuasa di Yaman ini sebelumnya telah meluncurkan rudal ke UEA, dan juga Arab Saudi. Kedua negara ini bersekutu memerangi Houthi, dan gagal.
Perwakilan kedutaan UEA menolak berkomentar mengenai cerita ini.
Juru bicara Pentagon Mayjen Pat Ryder mengklaim militer AS masih kemampuan untuk mengalirkan aset tambahan ke wilayah tersebut.
Ini termasuk langkah mendukung upaya pencegahan regional dan memberikan opsi untuk berbagai kemungkinan bila diperlukan.
“Kami juga mempertahankan kemampuan di seluruh wilayah tanggung jawab Komando Pusat AS untuk mempertahankan pasukan kami dan melakukan serangan pertahanan diri pada waktu dan tempat yang kami pilih,” kata Ryder.
UEA adalah basis bagi Pangkalan Udara Al Dhafra, yang menampung puluhan pesawat AS yang terlibat dalam operasi di seluruh wilayah Timur Tengah.
Termasuk pesawat tempur dan drone pengintai seperti MQ-9 Reaper.
Pada Oktober, jet tempur F-16 AS melakukan serangan balasan terhadap dua fasilitas di Suriah timur yang digunakan oleh Korps Garda Revolusi Islam Iran dan proksinya.
Meskipun Pentagon pada saat itu tidak mengungkapkan dari mana pesawat tersebut berasal, Al Dhafra adalah salah satu fasilitas terdekat di wilayah tersebut yang biasanya menampung F-16.
Seorang pejabat Departemen Pertahanan membantah anggapan ada ketegangan antara AS dan UEA terkait pangkalan militer AS.
Sumber militer itu menyatakan pesawat serang A-10 dan drone bersenjata MQ-9 baru-baru ini beroperasi di Al Dhafra untuk mendukung operasi perlindungan pelayaran di Teluk Arab.
Namun segera setelah serangan pada bulan Oktober, Pentagon berhenti mengungkapkan secara terbuka banyak jenis pesawat yang digunakan dalam operasi pembalasan terhadap proksi Iran.
Sementara itu, serangan terhadap Houthi sejak Januari dilakukan oleh jet tempur F/A-18 Angkatan Laut AS dari kapal induk USS Dwight D Eisenhower, yang berada di perairan internasional.
Setelah serangan proksi yang didukung Iran menewaskan tiga tentara Amerika di sebuah pos kecil Amerika di Yordania pada bulan Januari, Amerika menerbangkan pesawat pengebom B-1 jarak jauh dari Pangkalan Angkatan Udara Ellsworth, South Dakota.
“Ini adalah satu lagi demonstrasi kami mempertahankan kemampuan serangan global, yang berarti kami dapat bergerak dengan cepat dan fleksibel untuk merespons secara global pada waktu dan tempat yang kami pilih dan bahwa kami tidak terbatas hanya pada pesawat yang ada di Komando Pusat,” kata Ryder.
Akses penerbangan di wilayah tersebut telah terperosok dalam masalah dalam beberapa tahun terakhir akibat pertempuran di Yaman.
Administrasi Penerbangan Federal AS sebelumnya mengeluarkan peringatan tentang pengoperasian pesawat di Teluk Persia dan Teluk Oman.
Militer AS, bersama dengan beberapa mitra internasional, telah meningkatkan aktivitasnya di Timur Tengah seiring dampak perang Israel-Hamas yang berdampak di seluruh kawasan.
Perang tersebut, yang dimulai ketika kelompok militan Hamas membunuh 1.200 orang di Israel, kini memasuki bulan kelima, dan pembalasan Israel di Jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 28.000 warga sipil Palestina.
Meningkatnya angka kematian warga sipil Palestina di Gaza telah membuat marah banyak penduduk di negara-negara Arab, dan mengkhawatirkan para otokrat yang memerintah mereka.
Namun banyak pemerintahan yang sama juga membenci Hamas dan pelindungnya, Iran.
Pada saat yang sama, mereka enggan untuk berperang habis-habisan dengan Iran dan dalam beberapa tahun terakhir berupaya memperbaiki hubungan dengan negara tersebut.
Keseimbangan politik di kawasan Timur Tengah memang sangat rapuh, setelah bertahun-tahun hegemoni AS sangat terasa.
Orientasi negara Arab, terutama Saudi dan UEA, mulai bergeser ke China dan Rusia, ketika AS secara membabibuta berusaha mendikte Timur Tengah menyusul perang Rusia-Ukraina.
Gelagat itu semakin menguat ketika Saudi dan beberapa negara Timur Tengah tertarik untuk bergabung blok ekonomi BRICS.
BRICS diinisiasi Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Aliansi ini berusaha membuat skema ekonomi dan perdagangan baru yang setara dan saling menguntungkan.
Hal yang tidak diperoleh dari forum negara maju di G7 (dulu G8 sebelum Rusia didepak dari keanggotaan).
Negara-negara Timur Tengah berada di posisi tidak mudah, ketika harus menjaga keseimbangan antara AS dan sekutunya, dan menghadapi keganasan Israel di Palestina, yang mengusik emosi masyarakat kawasan itu.
Sementara Iran mulai muncul sebagai kekuatan yang mampu menandingi agresifitas Israel, dan memiliki pengaruh semakin kuat di peta politik kawasan.
Apakah hegemoni AS dan sekutunya sudah habis? Tentu saja belum. AS masih memiliki kunci-kunci penting yang bisa digunakan untuk membuat negara-negara teluk kembali tunduk.
Nyaris semua negara di kawasan itu memiliki ketergantungan tinggi terhadap produk senjata dan produk militer lain buatan AS dan barat.
Pemerintahan di kawasan teluk Arabia juga didominasi keluarga-keluarga kaya, yang takut jika revolusi musim semi menyapu mereka dari kemapanan.
Mereka secara alamiah masih memerlukan perlindungan, yang sejauh ini masih bisa diperoleh dari AS dengan kekuatan globalnya.(Setya Krisna Sumarga/Editor Seniot Tribun Network)