Oleh: Dr Anwar Budiman SH MH
TRIBUNNEWS.COM - Pemilihan Umum 2024 usai sudah.
Hasilnya pun telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rabu (20/3/2024) yang menunjukkan kemenangan pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Namun, masih tersisa rasa kurang puas dari mereka yang belum beruntung. Banyak berseliweran pendapat yang mengatakan telah terjadi kecurangan dalam pelaksanaan Pilpres 2024.
Mereka pun, yakni pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan nomor urut 03, Ganjar Pranowo-Mahfud Md mengajukan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kini proses persidangan masih berlangsung di MK.
Proses persidangan pun berlangsung panas dingin.
Panas ketika para ahli dan saksi dari kubu yang berbeda saling beradu argumentasi, namun menjadi dingin setelah ditengahi Ketua Majelis Hakim MK.
Panas di persidangan, namun dingin di luar sidang.
Rakyat kebanyakan biasa-biasa saja. Kehidupan masyarakat juga sudah berjalan normal, tanpa hiruk-pikuk politik pemilu.
Akan tetapi, soal puas atau kurang puas memang sudah menjadi fenomena dalam kontestasi politik, dan ini bukan yang pertama kali kita mendengar pernyataan yang sebenarnya memperlihatkan ketidakpuasan dari para kontestan.
Dan potensi terjadinya kecurangan memang cenderung diduga dilakukan oleh mereka yang berkuasa.
Sebaliknya, potensi prasangka curang cenderung diduga diteriakkan oleh mereka yang kalah.
Siapa yang benar dan siapa
yang salah, semua itu perlu pembuktian. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan ketidakpuasan atas hasil pemilu dibuatlah institusi MK.
Dalam perjalanannya, ketidakpuasan terjadi sejak adanya Putusan MK No 90/PUU/XXI/2023 yang pada pokoknya menyebutkan, “Sehingga Pasal 169 huruf “q” Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi, “berusia paling rendah 40 (empat puluh)
tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan
kepala daerah.”
Sebelumnya, pada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 169 huruf “q” menyebutkan persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
Namun dengan
adanya putusan MK No 90/2023 tersebut maka Gibran yang belum genap berusia 40 tahun bisa maju mendampingi capres Prabowo Subianto sebagai calon wakil presidennya karena yang bersangkutan merupakan Wali Kota Solo, Jawa Tengah, sehingga dianggap telah memenuhi syarat, yaitu pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk penilihan kepala daerah.
Ketidakpuasan mencapai puncaknya saat pemungutan suara digelar pada Rabu (14/2/2024) yang memunculkan tuduhan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM).
Tidak menutup kemungkinan, MK dalam membuat pertimbangan hukum dan dalam mengambil suatu putusan terdapat hal-hal yang abnormal.
Hal ini bisa saja dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya faktor kepentingan.
Namun jika hal tersebut telah putus dan diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum, maka kondisi apa pun sudah final dan mengikat bagi seluruh warga negara.
Semua warga negara wajib tunduk dan menghormati putusan tersebut. Walapun secara akademik bisa diperdebatkan, namun
secara kepastian hukum hal itu sudah selesai.
Perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi, Pasal 47 menyebutkan, “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan
dalam sidang pleno terbuka untuk umum”.
Putusan MK bersifat final dan mengikat, yakni langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, serta mengikat semua pihak yang berperkara dan semua warga negara (Indonesia).
Dikarenakan putusan MK bersifat final dan mengikat, dengan diubahnya bunyi pasal/ayat pada undang-undang yang diuji, maka peraturan pelaksana yang terkait dengan ketentuan yang sama dengan undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku.
Dengan demikian, ketentuan yang terdapat dalam Peraturan KPU No 19 Tahun 2023 sepanjang mengatur hal yang sama dengan sendirinya tidak berlaku (tidak perlu adanya perubahan dengan diterbitkannya aturan yang baru).
Jadi, dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum yang harus dikedepankan adalah pembuktian
autentik terkait adanya kecurangan di saat pelaksanaan pemilu saja, bukan mempermasalahkan putusan MK
atau hal-hal lain yang tidak terkait.
Berdasarkan analisis sementara terkait penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum dengan argumentasi
dan bukti-bukti yang disampaikan oleh pihak-pihak yang berperkara, dan dengan tidak berpihak kepada siapa pun, sepertinya Dewi Fortuna berada di pihak 02.
* Dr Anwar Budiman SH MH, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.